Berapakah harga seorang ibu? Pertanyaan ini barangkali pantas diajukan kepada mereka yang sukar mengerti betapa pentingnya menjadi seorang ibu rumah tangga. Tugas seorang ibu, kita tahu, tak semudah menjaga motor di parkiran.
Diakui atau tidak, kerja perawatan sebagaimana yang dilakukan ibu atau pekerja rumah tangga (PRT) hingga saat ini dianggap remeh. Asumsi tersebut membuat pekerjaan yang sebenarnya berat itu diupah rendah, bahkan seorang ibu tak dibayar sama sekali. Tugas yang mayoritas diemban kaum hawa ini jelas merugikan perempuan.
Penjinakan tubuh perempuan dalam sistem negara pernah berlangsung pada era Orde Baru. Represi yang diperhalus ini ditulis dengan apik oleh Julia Surya Kusuma dalam karya monumentalnya, Ibuisme Negara. Di bawah rezim Orde Baru, perempuan diberi peran dan tanggung jawab semu untuk menjadikan mereka warga negara yang baik: ibu dan istri yang patuh pada suami. Konstruksi demikian juga seolah-olah ingin memberi perempuan kesempatan agar setara—dengan laki-laki—sebagai warga negara. Tanpa sadar perempuan menjadi korban karena tatanan tersebut justru melemahkan mereka. Ibu, dalam konstruk Orde Baru, adalah makhluk kelas dua tanpa daya yang meringkuk di bawah bayang-bayang laki-laki.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Alih-alih menagih hak dan menjalankan kewajiban dengan baik, sebagai ibu dan istri pejabat, perempuan cuma diwarisi organisasi kerelawanan oleh negara. Pada 5 Agustus 1974, Dharma Wanita resmi didirikan. Tanpa gaji, seluruh istri pegawai negeri otomatis menjadi anggota organisasi tersebut selama sang suami masih menjabat. Peran mereka dianggap jembatan pemberdayaan perempuan. Kenyataannya, keberadaan organisasi tersebut tidak pernah otonom. Artinya, jika sang suami bukan pejabat negara, mereka takkan mendapat kesempatan menjadi anggota organisasi itu.
Posisi subordinat ini juga menimpa perempuan yang berprofesi sebagai PRT. Dalam profesi tersebut, pemberi kerja (majikan) kerap memberi upah tak layak atas produk kerja PRT. Upah rendah itu mematahkan harapan para perempuan—yang kebanyakan hijrah dari desa—demi kehidupan lebih sejahtera.
Alih-alih masyarakat awam, bahkan Adam Smith, sang peletak dasar sistem ekonomi liberal tidak menyadari peran penting seorang ibu. Baginya, individu bekerja dilandasi motif kepentingan pribadi. Individu-individu bekerja atas dasar kesadaran posisi mereka sendiri. Dalam refleksi sang filsuf, ‘ibu rumah tangga’ bukanlah sebuah profesi. Sebab, tugas sang ibu berangkat dari kesadaran dan kewajiban sendiri yang memilih melahirkan dan merawat sang calon Bapak Ekonomi Modern itu hingga sukses.
Katrine Marçal membantah Smith dalam bukunya, Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Feminis Swedia itu dengan tegas menyatakan bahwa Smith telah meremehkan peran ibunya yang sudah susah payah menjadi pejuang tunggal melahirkan, merawat, dan menemaninya sejak kecil hingga masyhur. Sang ibu memasak, mencuci, dan menjaga kebersihan rumah agar Smith hidup layak. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan berat itu tidak berarti di mata Smith. Jelas, tak ada tepuk tangan, lampu sorot, atau bintang lencana untuk prestasi sang ibu yang telah berhasil membawa nama putranya ke panggung dunia.
Pada 2015, International Labour Organization dan Universitas Indonesia mencatat bahwa di Indonesia jumlah PRT mencapai 4,2 juta jiwa dan angka ini terus meningkat. Tak ada yang rendah pada penyandang profesi PRT. Semua orang berhak menentukan takdirnya sendiri. Akan tetapi, kelayakan hidup PRT perlu disikapi agar takdir tersebut memang pantas dilakoni.
Sejauh ini, PRT dipandang miring oleh kebanyakan orang. Hanya karena memiliki tugas sebagaimana seorang ibu yang mengurus pekerjaan rumah tangga, PRT dianggap bukan sebuah profesi. Faktor inilah yang membuat posisi mereka rawan direndahkan—seperti ibu yang tak berdaya di kultur machois. PRT senantiasa dituntut tunduk nyaris tanpa syarat pada perintah majikan. Namun, tuntutan tersebut tak sebanding dengan upah yang mereka terima. Mereka diperkuda seenak jidat. Jika dijatuhi nasib paling nahas, mereka bisa didera siksa majikan yang semena-mena. Meski tak semua, kadang kita merasa bahwa profesi PRT tidak berbeda jauh dengan hidup seorang hamba. Sistem kerja PRT condong menguntungkan si majikan.
Kesejahteraan ruang domestik bukan persoalan receh. Keluarga merupakan unit sosial terkecil, tapi menjadi faktor paling dasariah dalam menetukan keberhasilan aktualisasi diri anggota-anggotanya. Itulah mengapa peran PRT begitu urgen dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bekerja sepanjang waktu, menjaga rumah tetap bersih, memasak makanan enak dan bergizi bagi penghuni rumah, serta memberi perawatan yang layak untuk anggota keluarga. Setiap hari, selama memiliki keterikatan kerja, PRT profesional juga akan terus memenuhi kebutuhan sang majikan beserta familinya. PRT adalah figur yang meng-ibu bagi sebuah keluarga.
Namun, seorang ibu—jika boleh kita sematkan pada perempuan PRT—yang konon di telapak kakinya terhampar surga, rentan secara hukum. Baik di dalam maupun luar negeri, siklus pekerjaan dan keseharian PRT terasa monoton. Tugas domestik yang tak kunjung usai, jam kerja tak teratur, dan minimnya waktu libur membuat sang buruh menjadi sosok tertutup yang hanya menunggu perintah. Payung hukum yang tak adekuat takkan menjamin keamanan sosial dan melindungi mereka dari intimidasi. Apalagi undang-undang tersebut memang tak pernah ada. Miris dan ironis jika negara bersikap bodoamat terhadap persoalan ini.
Sejumlah intelektual dan akademisi telah menggaungkan pengesahan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga. Mereka menuntut pemerintah mengambil sikap untuk menjamin hak-hak PRT terpenuhi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di lain pihak, penolakan dan pengabaian atas nasib PRT juga tak kalah bergema. Walhasil, berita kasus-kasus keji terhadap PRT pun masih mengiris telinga.
Mari kita mundur ke tahun 1993. Kala itu, aktivis buruh terus menyuarakan haknya. Menuntut agar negara lebih peduli atas nasib mereka yang tak sepenuhnya merdeka. Sayang, beberapa aktivis diganjar respons mengerikan. Marsinah, salah satunya, aktivis buruh perempuan yang hingga kini namanya masih berlumuran darah dalam sejarah kolektif Indonesia. Ia ikon perjuangan kaum buruh yang diperlakukan tak senonoh, ditindas habis-habisan hingga dijemput maut. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyuarakan hak para buruh yang dirampas. Dengan heroisme seorang perempuan, ia menuntut keadilan demi kesejahteraan teman-temannya yang berprofesi sebagai pekerja apa pun. Tapi perjuangannya kandas ketika perempuan malang itu diculik dan diperkosa, disiksa secara membabi buta sampai hayat lepas dari raga. Tragedi Marsinah disorot mata dunia. Ia terbilang pelanggaran HAM berat dan menjadi salah satu pembantaian paling jorok dalam riwayat keindonesiaan kita.
Sementara itu, 2022 juga telah menorehkan luka yang mestinya membuat akal sehat kita jera. Kasus kekerasan menimpa PRT Riski Nur Askia yang disiksa majikannya. Ia disirami air cabai, dipaksa telentang di lantai dengan telanjang. Si majikan merupakan ASN yang identitasnya telah dikantongi polisi. Akan tetapi, sampai peristiwa itu terkuak media, sang korban belum juga mendapat keadilan. 2.637 kasus kekerasan menimpa PRT sepanjang 2017 hingga 2022. Jika negara terus menutup mata, Indonesia akan tetap menjadi neraka bagi profesi PRT dan perempuan.
Kontrak tertulis tentu diperlukan antara PRT dengan pemberi kerja untuk menjamin hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pembagian kategori mutlak dibutuhkan untuk meminimalkan jam dan ranah kerja—yang selama ini centang perenang—guna mengurangi beban PRT. Regulasi tersebut harus tertuang dalam rencana pokok-pokok pikiran RUU bagian Kategori dan Lingkup Kerja. Kondisi kerja yang kondusif akan meningkatkan produktivitas ekonomi dan menurunkan—syukur-syukur melenyapkan—kemiskinan.
Rencana Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga mestinya juga tidak hanya terus diagendakan tanpa tindakan nyata. Kualitas kepedulian dan hukum yang sah atas profesi PRT tidak hanya akan memengaruhi kesejahteraan, tetapi juga kesentosaan psikis mereka sebagai warga negara yang sejauh ini gagal diperhatikan. Pada skala lebih luas, Undang-Undang PRT juga akan mempersempit jarak sosial dan ekonomi, serta menciptakan kesetaraan dalam lingkungan kerja.
Dalam “Sajak Gadis dan Majikan”, Penyair Burung Merak W.S. Rendra telah menunjukkan bahwa perlindungan terhadap PRT memang tidak ada sejak 1975. Hingga kini, payung hukum untuk PRT masih mengendap penuh kontroversi, tak kunjung menjadi undang-undang yang sah. Padahal, sila kelima landasan ideologi negara ini telah berteriak sejak 77 tahun lalu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi keadilan itu tak jua singgah di hadapan nasib pekerja rumah tangga, di hadapan takdir ibu.






