Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H) yang dimuat dalam Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja. Putusan ini menegaskan bahwa sanksi administratif tidak dapat diberlakukan terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan hutan secara turun-temurun dan tidak memiliki tujuan komersial.
Putusan dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025). Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 110B ayat (1) UUP3H bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi masyarakat yang hidup di hutan secara turun-temurun.
Langkah ini dianggap sebagai angin segar bagi masyarakat adat dan petani kecil yang selama ini menghadapi ancaman sanksi karena tinggal atau beraktivitas di kawasan hutan yang diklaim sebagai milik negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut putusan MK tersebut sebagai kemenangan rakyat yang memperkuat perlindungan terhadap hak masyarakat atas hutan.
“Putusan ini bukan hanya kemenangan hukum, tetapi juga momentum untuk mengevaluasi kebijakan turunan yang selama ini menekan masyarakat,” ujar Surambo dalam keterangan tertulis, Kamis (17/10/2025).
Menurut Surambo, definisi masyarakat yang dilindungi seharusnya juga mencakup petani kecil perkebunan sawit yang beraktivitas di kawasan hutan tanpa tujuan komersial besar. “Mereka tidak seharusnya dikenai sanksi administratif seperti yang sebelumnya diatur dalam UU Cipta Kerja,” katanya.
Dalam proses uji materi, Sawit Watch bersama kuasa hukumnya, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menghadirkan ahli dan masyarakat terdampak untuk memperkuat argumen.
Ahli hukum Grahat Nagara memberikan pandangan akademis yang mendukung dalil gugatan, sementara masyarakat dari Desa Ujung Gading Julu, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, memberikan kesaksian mengenai kesulitan nyata yang mereka alami akibat penerapan aturan tersebut.
Penasehat Senior IHCS, Gunawan, menilai putusan MK ini dapat menjadi pijakan penting untuk memperkuat mekanisme reforma agraria, terutama dalam penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.
“Putusan ini seharusnya menjadi dasar agar penyelesaian tidak hanya dilakukan melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), tetapi juga melibatkan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA),” ujarnya.
Sawit Watch bersama IHCS berkomitmen untuk memantau pelaksanaan putusan MK ini. Keduanya juga menegaskan akan mengajukan pengaduan konstitusional jika putusan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
“Ini bukan akhir, tetapi awal dari penguatan hak masyarakat atas ruang hidupnya,” kata Surambo menutup pernyataannya.
Penulis : Aini






