Opini, Suaranet-Indonesia adalah negara yang dipenuhi dengan keragaman yang luar biasa. Ras, selera musik, agama, suku, atau tim makan mie pakai nasi dan tidak. Keragaman tersebut merupakan kekayaan Indonesia yang seharusnya kita rawat dan lestarikan dengan sebaik-baiknya.
Indonesia di masa lalu adalah masyarakat agraris dan pelaut yang tangguh. Nyaris dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari orang-orang Indonesia memiliki usaha yang seragam, bidang agraria, peternakan dan nelayan. Pola hidup yang masih sangat homogen. Secara etnoreligius pun demikian, mereka mengenal dinamisme dan animisme.
Tetapi seiring berjalannya waktu keberagaman muncul dari berbagai lini sektor, baik ekonomi, kepercayaan, selera humor, dan tempat hiburan. Memang, kesepakatan dan deklarasi Indonesia sebagai Nation State disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi kesepakatan sebagai satu bangsa sudah dideklarasikan sejak 28 Oktober 1928 melalui sumpah pemuda. Pada saat itu anak muda berkumpul dari berbagai daerah di Indonesia dengan kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.
Kesepakatan itu seharusnya sudah harus mereduksi ego dan arogansi atas dasar Etnosentrisme. Melainkan menjadi satu bangsa yang bernaung pada satu kesepakatan tunggal dengan empat pilar yang kita pegang teguh. Kita tidak lagi menjadi perkumpulan berdasar satu etnoreligius.
Walaupun kita menyadari konflik atas nama agama dalam skala besar seperti yang terjadi pada masa awal transisi kemerdekaan dan reformasi memang tidak terlalu marak. Tetapi nyaris kasus-kasus kecil yang mengatasnamakan agama terus berlanjut. Hanya ada satu kasus atas nama agama dalam skala besar terjadi pada tahun 2017 di mana pada saat itu momentum politik perebutan kekuasaan gubernur DKI jakarta yang melibatkan ahok memuncak. Isu penodaan agama seolah menjadi marketing yang cukup seksi, menjadikan isu penodaan agama menjadi salah satu entrepreneur politik yang sangat sukses pada saat itu.
Mayoritas dan Minoritas
Konsep Mayoritas-Minoritas kerapkali menciptakan sekat baru dalam tatanan sosial. Kesepakatan mendirikan Indonesia sebagai negara Republik seharusnya menghapus pandangan Mayor-minor dalam imajinasi berbangsa. Kontruksi berpikir sebagai Negara dan Bangsa yang satu yakni Indonesia, harusnya melekat kuat dalam pikiran setiap warga negara.
Mayoritas-minoritas yang dibangun cenderung menjadi pagar tinggi antar warga negara, menjadikan pemecah satu kelompok dan kelompok yang lain. Demontrasi karena kasus penodaan agama adalah salah satu yang paling sensitif di Indonesia, basis gerakan massa yang kurang terkendali menciptakan iklim sosial yang kurang harmonis.
Pikiran manusia itu dipenuhi oleh berbagai spektrum, tetapi melalui pengetahuan, toleransi, dan kesadaran mendorong manusia pada spektrum yang santun, ramah dan damai. Seperti prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah yakni, Tasamuh, tawazun, tawasuth dan ta’adul. (Toleran, seimbang, moderat dan adil).
Perbedaan pandangan dalam agama memang sangat wajar. Kehidupan yang majemuk di Indonesia memang sangat lekat dengan kehidupan Sosio-kultural kita. Tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur, Cak Nur, Gus Mus dan Cak Nun gemar sekali mengkampanyekan pluralisme kebangsaan dan toleransi terhadap perbedaan sebagai upaya mewujudkan negara yang damai.
Akan tetapi bias dominasi dalam suatu kelompok dengan latar etnoreligius tertentu kerapkali melakukan berbagai intimidasi, penodaan, kekerasan fisik dan non fisik, banalitas, serta pembatasan ruang gerak dakwah agama atau aliran tertentu yang cenderung minoritas.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tidak luput dalam praktik-praktik yang demikian, aksi besar atas nama penodaan agama, sesat-menyesatkan, klaim kebenaran atas paham tertentu dan menyalahkan kelompok lain yang berbeda dianggap mengganggu stabilitas beragama.
Gerakan reaktif yang dilakukan banyak kalangan, golongan dan ormas atas nama agama kerap kali terjadi di belahan bumi Indonesia. Di Madura misalnya dalam satu pekan terjadi dua kali aksi dalam kasus yang sama “Penodaan agama”. Mirisnya, saat melakukan orasi terbuka mereka tidak segan mengancam dan menghujat dengan teriakan-teriakan kasar penuh kebencian tapi selalu ditutup dengan kalimat suci “AllahuAkbar”.
Pandangan eksklusif beragama sendiri terbagi menjadi dua poros, yang pertama inklusif keluar, yakni meyakini kebenaran agama yang dianut sebagai yang benar dan menyalahkan kebenaran di luar kepercayaannya sendiri. Yang kedua inklusif kedalam, yaitu meyakini kebenaran madzhab atau aliran sendiri sebagai kebenaran tunggal dan menyalahkan pandangan yang lain. Hal ini cenderung sesat menyesatkan dan tak segan mengkafirkan yang lain dan pandangan ini termasuk yang menjamur di Indonesia.
Tetapi sebagai umat muslim, kita harus benar-benar menyadari bahwa islam dan muslim berbeda. Islam adalah nilai dan muslim adalah penganut ajaran dan kepercayaan. Orang-orang di luar islam yang tidak belajar islam akan melihat wajah islam dari perilaku yang ditampakkan di muka publik. Oleh sebabnya islam yang ramah, toleran, santun harus ditampilkan oleh umat muslim itu sendiri.
Menjadi mayoritas itu baik, bahkan islam mengajarkan bagaimana dakwah agama yang Rahmatan lil ‘alamin sampai seantero negeri. Tetapi cara yang digunakan harusnya tidak bersifat memaksa, la ikrahaa fiddiin, tidak ada paksaan di dalam beragama, siapa yang menghendaki beriman pada kepercayaan atau agama tertentu dipersilahkan secara terbuka. Senada yang disampaikan Cak Nur, “Apabila Tuhan yang bersifat mutlak membiarkan agama-agama lain, maka manusia yang bersifat tidak mutlak, jangan memaksakan keyakinannya pada orang lain” Islam bukan agama yang eksklusif-absolut melainkan inklusif-toleran.
Tindakan persuasif, intimidasi, dan penghinaan terhadap islam juga marak terjadi di mana muslim di sana menjadi etnoreligius community yang minor. Seperti yang diberitakan di beberapa media, di Denmark-Swedia terjadi pembakaran dan Perobekan Al-Quran atas dasar kebebasan berekspresi. Bukankah dasar kebebasan yang sesungguhnya adalah dengan tidak menganggu kebebasan orang lain? Begitu mengerikan tindakan islamofobia di Eropa. Sekali lagi Mayor-minor sangat mempengaruhi tindakan satu kelompok kepada kelompok yang lain.
Sudut Pandang Inklusif-toleran
Kampanye moderasi beragama semakin kencang disampaikan oleh pemerintah melalui kementerian Agama, lembaga pendidikan tingkat tinggi, Ormas islam yang dianggap moderat seperti NU dan Muhammadiyah dan beberapa pondok pesantren. Hal tersebut merupakan upaya sadar dalam mereduksi paham-paham yang memicu ketegangan antar umat dalam tatanan beragama dan berbangsa, serta mendorong spektrum berpikir umat kepada taraf yang inklusif dan moderat.
Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPT NU), Dr. Phil. Syafiq Hasyim, MA menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan inklusivitas dalam Islam adalah keterbukaan yang tidak mengorbankan ajaran pokok dan keyakinan dalam agama Islam.
Inklusivitas bisa beroperasi pada ranah sosial, politik, dan kebudayaan. Sementara ranah keyakinan dan teologis tetap meyakini Islam sebagai keyakinan yang benar menurut para pemeluknya. Namun demikian, kita harus tetap menghormati mereka yang berbeda agama.
Inklusif juga berarti bagian dari cara kita membaca sesuatu yang tidak terpusat pada cara pandang pribadi, melainkan dari sudut pandang objek yang kita baca. Pandangan inklusif menerima kebenaran sebagai sebuah realitas yang perlu kita hormati. Dengan demikian kita akan lebih mudah memahami sesuatu dengan sudut pandangan yang lain.
Tetapi kita perlu membedakan inklusifitas dengan Talfiq, Relativisme beragama dan sinkretisme. Talfiq berarti mencampuradukkan Madzhab agar memperoleh hukum yang mudah, cari aman atau mau enaknya sendiri. Relativisme beragama berarti mengakui semua agama itu benar dan bebas berpindah kapan saja yang ia mau. Sedangkan sinkretisme adalah mencampuradukkan berbagai ajaran agama kemudian membuat ajaran agama baru. Inklusifisme beragama jauh dari ketiga pandangan tersebut.
Oleh sebabnya islam benar-benar menganjurkan umatnya agar selalu menggali ilmu pengetahuan secara terus menerus. Karena kedangkalan dalam beragama cenderung menjadi pemicu salah dalam memahami agama. Sikap yang ditampakkan dari cara pandang yang eksklusif-absolut menjadikan orang-orang memahami agama sebagai tujuan, agama seharusnya seperti yang disampaikan oleh Nurcholis madjid “Religion, Which should be the solution to humanity. Had become the problem itself”. Agama sudah seharusnya menjadi solusi atas masalah kemanusiaan, bukan malah menjadi masalah itu sendiri.
Prof Quraish Shihab menjelaskan bahwa memahami agama seperti melihat matahari, kita tidak bisa melihat nya secara langsung dengan mata terbuka, kita membutuhkan kacamata hitam agar bisa melihat matahari dengan baik tanpa merasa silau, kacamata itu dipahami sebagai nalar manusia. Selain belajar agama secara tekstual, kita harus memahami agama dalam sudut pandang lebih luas dan terbuka. Memahami dasar serta konteksnya.
Dari paparan di atas kita akan lebih memahami bahwa dasar dalam beragama tidak cukup hanya pada asas yang normatif. Kita perlu membangun cakrawala pengetahuan yang lebih dalam guna menciptakan umat dan bangsa yang rukun, ramah, toleran serta mewujudkan negara yang Baldatun thoyyibatun warobbun ghafur.
*) Anam Khair– Mahasiswa, suka menulis dan membaca buku pdf di kafe.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi suaranet.id