SUARANET– Berbicara soal kehidupan, tidak akan pernah terlepas dari permasalahan dan penyikapan berat atau ringannya suatu masalah. Hidup adalah masalah yang perlu dituntaskan.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selain sebagai mahluk individu juga merupakan mahluk sosial dimana ia akan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Satu hal yang pasti adalah manusia memiliki kewajiban untuk melanjutkan keberlangsungan hidup masing-masing. Manusia, sebagai mahluk individu pernah mengalami masalah yang timbul dari diri sendiri seperti kekhawatiran, kecemasan, kekecewaan, merasa kurang mampu, sakit hati, dan rasa yang tidak mengenakkan hati dan fikiran lainnya.
Masalah adalah fenomena yang misterius. Ia datang secara tiba-tiba, tidak tahu dari mana datangnya dan tanpa kita minta. Anehnya, ia tidak memaksa untuk diselesaikan, tapi kita perlu menyelesaikannya sebagai pertanggung jawaban selaku manusia. Sebagian orang menyampaikan bahwa hari ini orang pintar kurang dibutuhkan, melainkan orang bijak sangat diharapkan. Dari mana datangnya kebijaksanaan? Yaitu dari pelbagai permasalahan yang diderita dalam kehidupan sebelumnya atau faktor lain yang mempengaruhinya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat desa memiliki hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam dibandingkan dengan masyarakat kota. Kekeluargaan, keharmonisan, gotong royong antar sesama sampai saat ini masyarakat desa masih jadikan pedoman dalam hidupnya. Alhasil, kesejahteraan hidup dirasakan dalam kesehariannya tanpa menunggu seremonial, momentum, dan acara penting lainnya untuk merasakan hal tersebut. Bahkan, banyak persoalan yang dihadapi justru lebih ringan karena sebagian masyarakat lain ikut membantu secara suka rela untuk sebuah permasalahan. Ikut andilnya peran tersebut sudah biasa dilakukan oleh masyarakat pedesaan.
Menurut Feedinand Tonies masyarakat pedesaan diistilahkan dengan gemeinschaft ( paguyuban ). Paguyuban inilah yang menyebabkan masyarakat tenang harmonis, rukun dan damai. Tidak jarang orang kota kebanyakan melepaskan kusutnya pikiran, menambah energi kesemangatan, mengistirahatkan diri dari lelahnya aktifitas di perkotaan dengan pergi ke pedesaan. Karena desa merupakan tempat pilihan, asri, dan adem ayem penuh ketenangan. Tidak disadari bahwa ketenangan masyarakat pedesaan itu hanya terbawa oleh sifat masyarakat desa yang jarang sekali ditemui di perkotaan. Sehingga Brad Gadler dalam Alhadza menjelaskan bahwa seseorang akan melakukan tingkah laku baru dengan model yang menarik perhatian untuk ditiru. Sedangkan, menurut Koswara tingkah laku adalah hasil kekuatan yang ada di dalam diri individu dan berasal dari kekuatan lingkungan psikologis.
Jika boleh menambahkan, apabila masyarakat desa diukur melalui index kebahagiaan maka masyarakat desa cenderung lebih sejahtera. Kesejahteraan yang dimaksudkan bukan dalam arti keamanan dan jaminan materi yang didapatkan melainkan kepuasan batin, relasi, pengetahuan, resiliensi, dan kecakapan lainnya. Karena arti sejahtera ternyata tidak sesempit itu, Sesederhana bertani sistem konvensional, hobi, berdagang, silaturahmi, meneguk kopi di warung konah, meluangkan waktu bersama teman, tetangga, dan kolega nya di pagi hari dan sore hari untuk mendiskusikan suatu peristiwa, jual-beli, pengarahan, dan sumber informasi lain untuk bekal dan pandangan hidup mendatang.
Secara sederhana, manusia dibagi menjadi tiga dimensi : Fisik, Non-fisik, dan Spritual. Fisik merupakan raga kasar dan mudah untuk diidentifikasi karena materialnya jelas. Semua manusia pasti sama-sama memiliki kepala, hidung, telinga untuk mendengar. Jika ada perbedaan, kemungkinan hanya berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna saja. Dan Non-fisik merupakan yang tersembunyi tetapi berkaitan seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal membentuk pola sifatnya dan Non-fisik mempengaruhi kebiasaan manusia. Sedangkan, spritual adalah modal dari tuhan yang tidak diberikan kepada binatang, tumbuhan, dan alam lainnya. Spritual ini bisa jadi diberikan secara eksklusif untuk dan hanya kepada manusia. Disinilah mengapa manusia sangat istimewa dihadapan tuhannya. Spritual itu bukan semata beragam, spritual bisa jadi salah satunya adalah agama.
Spritualitas merupakan kesemangatan yang ada pada seseorang ketika mereka merasa, meyakini, memahami bahwa mereka tidak hidup dan hadir secara tunggal dan muncul begitu saja. Selalu ada motif dan alasan tertentu mengapa manusia diciptakan. Kesadaran seperti ini merupakan elemen penting dalam konsepsi spritual.
Ketika dimensi tersebut menyatu pada dalam diri manusia, disinilah kemudian kita mengenal apa yang ada dalam agama islam misalnya, sebagai insan kamil atau manusia sempurna. Manusia sempurna dimaknai sebagai ekspresi dimana ketiga dimensi tersebut berkilauan memberikan pencerahan kemanusiaan, subyek tubuh manusia lainnya, sehingga mereka pun mendapatkan perasaan dan pengalaman yang sama.
Banyak anggota masyarakat pedesaan lebih tabah, rajin, dan menjalankan kehidupannya dengan menggantungkan nasib kepada tuhannya. Karena sebagai manusia, kita tidak bisa mengendalikan sesuatu atas sesuatu. Saling mengasihi dan menyayangi harus selalu ada untuk siapa saja dan dimana saja sebagai wujud dari pengabdian kita di dunia. Banyak hal yang harus diselesaikan, jika tidak dengan gotong royong, bermusyawarah, kerja sama, dan saling berempati maka beratnya menjalani kehidupan ini tidak bisa digambarkan dalam bayang-bayang nasib setiap individu akan seperti apa. Bayangkan.
Sebagai penutup, barangkali konsep tri hita karana merupakan pedoman terbaik dalam menjalani kehidupan agar bahagia secara jasmani dan rohani. Kekosongan jiwa akan mempengaruhi hidup manusia. Maka salah satu tokoh yang tidak mau disebutkan namanya, bagian dari masayarakat desa itu sendiri, menyampaikan dengan ketulusan hati, lemah lembut, namun sayang nyaring sekali ditelinga dan menusuk hati untuk instrospeksi diri saban hari melanjutkan hidup dengan selalu mengingat Allah SWT. Karena sempurnya hidup hanya dimiliki manusia yang selalu mengingat dan menghidupkan hati bersama-Nya. Wallahu A’lam…
*) Hanifur Rabbani – Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi suaranet.id