Oleh: Nurul Aini
Dear Aie
Selamat malam kawan
Di tengah kerinduan yang memuncak
Aku kembali hadir sekedar mengenang kisah yang seiring membayang dikediamanku, ntahlah.
Sungguh aku tau pemungkasnya
Namun pikir tak yakin pada tutur kata hati
Hingga penderitaan yang ku peluk kasih.
Duhai…
Salahkah aku bila terlalu meraung pelukmu
Hasrat meronta mengemis raga menjumpai mu
Ahh, haruskah aku menghakimi fikir dengan janji lupa yg tak terjadi.
Aku penabung rindu
Maka maaf aku tak bisa membayar rindumu.
Menuskrib Luka
Saban hari
Semisal angin pemuncrat lamun ingatan kasih.
Siuran pencabik luka
Prihal tuai para penyair derita
maka disanalah seorang kian berdiri
menatap jeri bayangan kisah sendiri.
Ya, hampa di ruang nyata
menghakimi pikir dengan kata
lantas ku ungkap
seelok mungkin kau tabung rindumu itu
Hingga membuyar dengan sejatinya.
Engkau
Ini berawal dari sejak bersajak irama duri
Bersama kicawan para diri
Tidak! aku bukan pembaca handal
pun, penyelidik jiwa bernyawa
Tapi, dari ungkap yang kau singkap aku paham
Hingga pada diam aku tak bisa
Agatr biar tak berkeliaran
Karna cukup engkau
Awal yang di akhiri.
Kabar
Mengolah suasana hampa
Mengorbankan hak detik pada diam
Bermula dengan akhir tak tentu
Hingga mengadu domba otak pada hati
tenggelam dengan halusinasi halus
meski irisan hati tak pernah membuyar
Adalah ucap berbisa
Hingga langit menguarkan duka
Mendentumkan irama hampa
Amuklah duhai tangan wibawa
Bumimu ber alas duka.
Remangmu
Ah
Sepucuk hangat dalam harap
Mengerlapkan langit tak berbintang
Menjatuhkan kasih di atas bualan hampa
Berangan tanpa tubi
Menyusahkan kisah sendiri.
Ah
Rasa di bawah hujan
Mengkrikilkan batu menyucikan lahan
dan engkau tumbuh dengan alunan senda
menghadirkanku terpaku tiba-tiba.
Ah
Dibalik bayang hujan masih kutatap
Sekali tapi bekas berkali.