Bahaya Fasisme Pada Gerakan Mahasiswa

- Publisher

Minggu, 8 Januari 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Fahrur Rozi Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Indonesia IAIN Madura.

Foto: Fahrur Rozi Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Indonesia IAIN Madura.

SUARANET- Menjadi mahasiswa memiliki keistimewaan tersendiri. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi. Sebab itu, alangkah ruginya, mereka yang sudah ada di kampus, tidak memaksimalkan kesempatan untuk menempa diri.

Albert Einstein, Ilmuwan asal Jerman, pernah berkata, “Jangan pernah bercita-cita menjadi orang sukses, tapi berpikirlah untuk menjadi manusia yang bernilai”. Senada dengan itu, saya rasa pernyataan Einstein juga sangat relevan dengan dunia mahasiswa. Pasalnya, sejauh ini banyak mahasiswa yang setelah duduk di bangku perkuliahan, tapi masih kebingungan menemukan identitasnya sebagai kaum berpendidikan.

Sebagai kaum cendikiawan dan akademisi bukan hanya tentang nilai IPK dan tugas-tugas dosen, lebih indah lagi jika hidup dalam coretan buku-buku dan pengetahuan, apalagi yang kita temukan bukan satu tipikal, ada yang fokus pada keorganisasian hingga lupa pintu masuk jam kuliah, ada lagi yang fokus pada nilai dan tugas-tugas kampus, bahkan ada juga mahasiswa pendemo dan pengamat sosial miniatur institusi.

Seperti kutipan Najwa Shihab; Mahasiswa, nikmatilah kehidupan kampus dengan terus mengasah, jangan habiskan waktu dengan terus berkeluh kesah. Bacalah sebanyak-banyaknya buku, jangan hanya main gadget melulu. Kenali sebaik-baiknya teman-temanmu, hayatilah masyarakat di sekelilingmu, agar kampus tak menjelma tembok yang memenjarakanmu.

Menyambung dari kutipan di atas, banyak sekali penemuan penemuan lokal intra dan mahasiswa kampus yang di luar nalar, di mana kualitas dan kemampuan tak lagi dipandang, maka jangan salah jika gerakan fasisme hidup dan berjalan diatas tanggung jawab dan peran suci mahasiswa.

Baca Juga  Kecantikan Perempuan dalam Konstruksi Budaya Laki-laki Madura

Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. -Tan Malaka

Hidup dalam negara hukum yang mengutamakan sosial juga kebebasan, apalagi lambang dan simbol demokrasi yang menunduk atas nafas ideologi Pancasila, perlu peningkatan dan penyatuan

Umumkan dan suarakan dengan lantang, bahwa kampus bukan milik sendiri dengan kewenangan sendiri, apalagi mementingkan kepentingan kelompok dengan alasan elektabilitas dan kemajuan, tentu telah banyak narasi pun cerita-cerita yang berakhir basi

Menganut gerakan fasisme bukan anugerah untuk dihidupi dan dibawa pulang setelah bergabung pada lingkungan masyarakat sekitar, kita bukan penerus budaya fasisme, bahkan juga bukan penganutnya, Jika fasisme hidup dalam dunia pendidikan seperti miniatur negara kecil mungkin dua tahun kemudian yang terbentuk adalah kemahasiswaan yang otoriter dan diktator

Dalam ideologi fasis, individualitas manusia hilang dan pengikut menjadi massa yang seragam di mana individu hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan, Gerakan fasis termasuk gerakan radikal ideologi otoriter politik. Dalam ideologi fasis, massa tak boleh mempunyai identitas yang beragam dan wajib seragam.

Dikutip dari buku “Fasisme” oleh Kevin Passmore, berikut ini sejarah tentang fasisme.

Tahun 1919
Istilah ‘fasis’ pertama kali digunakan oleh Mussolini pada tahun 1919 dalam sebuah gerakan politik yang mengkombinasikan ultranasionalisme (paham nasionalisme yang berlebihan) dan permusuhan dengan paham kiri maupun dengan konservatisme yang saat itu berkuasa.

Baca Juga  Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO

Tiga tahun kemudian, Mussolini memegang kekuasaan sebagai pemimpin koalisi yang didukung oleh kalangan konservatif.
Sedangkan kita hidup di negeri satu kesatuan, seperti yang disebutkan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi tetap satu jua

Tahun 1926
Pada tahun 1926 Mussolini mulai membangun secara penuh kediktatorannya. Pada saat itu juga, fasisme adalah paham yang dipuja secara luas oleh sebagian besar tokoh politik dan sastra yang terkemuka di luar Italia, yang tidak semuanya mendukung kelompok kanan.

Tahun 1939
Mulai periode tahun 1939, penaklukan sebagian besar wilayah Eropa oleh Nazi membuat orang-orang fasis dengan cepat menduduki kursi pemerintahan di negara-negara di mana mereka selalu menjadi oposisi, khususnya di Kroasia dan Rumania.
Nafsu Fasis dan Nazi yang tidak akan pernah terpuaskan untuk melakukan penaklukan menciptakan sebuah koalisi internasional yang pada akhirnya menghancurkan fasisme dengan mengorbankan jutaan orang yang meninggal, luka luka, dan terusir dari kampung halamannya.

Ciri-Ciri Fasisme
William Ebenstein melalui Isme-Isme yang Mengguncang Dunia, menjelaskan tujuh ciri dari fasisme, antara lain:

1) Tidak percaya pada kemampuan nalar
Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatik adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan.

2) Pengingkaran derajat kemanusiaan
Bagi fasisme, manusia tidaklah sama karena ketidaksamaan itu yang justru bisa mendorong munculnya idealisme mereka.

Baca Juga  Jamu Waras untuk Kaula Birahi Intelektual!

3) Kode perilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan
Bagi fasisme, jika ada pertentangan dengan kehendak negara, maka penentang adalah musuh yang harus dimusnahkan.

4) Pemerintahan oleh kelompok elit
Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika terdapat pertentangan pendapat maka yang berlaku adalah pendapat kelompok elit tersebut

5) Totaliterisme
Untuk mencapai tujuannya, fasisme adalah total atau menyeluruh dalam menyingkirkan sesuatu yang dianggap “Kaum Pinggiran”. Hal ini dialami kaum wanita di mana mereka hanya ditempatkan di wilayah 3 K yakni kinder (anak-anak), kuche (dapur), dan kirche (gereja).

6) Rasialisme dan imperialisme
menurut doktrin fasis, dalam suatu negara, kaum elit lebih yang lebih unggul dari dukungan masa dapat memaksakan kekeran kepada rakyatnya.

7) Berani menantang hukum dan ketertiban Internasional
Jika konsensus Internasional diciptakan agar tercipta pola hubungan antar negara yang sejajar dan damai, maka hal itu berbanding terbalik dengan prinsip fasis yang menolak adanya persamaan.

Gerakan Fasisme hanya akan berhasil membesarkan kelompok dan memprioritaskan keuntungan sendiri, ia juga menerapkan basis kepemimpinan konseptor dan diktator sebagaimana yang sudah diterapkan pada gerakan sebelumnya.

 

*)Fahrur Rozi – Program Studi Tadris Bahasa Indonesia IAIN Madura.

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi suaranet.id

Berita Terkait

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi
Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura
Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO
Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan
Menangkal Overclaim: Peran Edukasi dalam Meningkatkan Kecerdasan Konsumen
Keranjang Belanja yang Berlubang, Mengapa Data Kita Mudah Bocor di E-commerce?
3 Srikandi Berebut Kursi Gubernur Jawa Timur

Berita Terkait

Senin, 13 Januari 2025 - 10:42 WIB

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi

Rabu, 8 Januari 2025 - 19:47 WIB

Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Minggu, 8 Desember 2024 - 12:30 WIB

Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura

Kamis, 5 Desember 2024 - 12:36 WIB

Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO

Senin, 2 Desember 2024 - 13:44 WIB

Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan

Berita Terbaru