Oleh Zenfreak
Menegaskan keberadaan Tuhan tidak selalu harus melalui bukti empiris yang tampak di depan mata. Mengharapkan kehadiran Tuhan secara langsung dan kasat mata mungkin hanya akan menjebak kita dalam pandangan yang sempit, dalam hal ini, utilitarianisme—sebuah pendekatan pragmatis yang membayangkan bahwa Tuhan akan membalas doa dan permohonan melalui medium konkret, seperti email atau notifikasi WhatsApp. Akan tetapi, apakah keberadaan sesuatu yang agung seperti Tuhan benar-benar harus dikonfirmasi oleh media-material ini? Apakah kita tak dapat mendekatinya dengan cara yang lebih dalam, yaitu dengan menggunakan alat yang paling fundamental dari manusia: akal budi?
Di sinilah rasionalisme mengambil peran. Aliran pemikiran ini berpandangan bahwa pengetahuan hakiki berasal dari logika dan pemikiran yang dalam. Menurut rasionalisme, kebenaran tak perlu bergantung pada pengalaman fisik untuk diterima sebagai sesuatu yang nyata; kebenaran, dalam pandangan ini, bisa dicapai melalui pemahaman dan pemikiran logis. Melalui akal, manusia mampu mencapai pemahaman yang mendalam, bahkan tentang hal-hal yang mungkin tak dapat dijangkau oleh pancaindra.
Sebaliknya, empirisme, sebagai lawan dari rasionalisme, menekankan bahwa pengetahuan harus bersandar pada pengalaman langsung. Empirisme membutuhkan bukti yang dapat dirasakan secara fisik dan terukur. Namun, ada sesuatu yang indah dalam pendekatan rasionalisme: ia membuka pintu bagi pemahaman yang lebih luas dan lebih mendalam terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak. Sesuatu yang mungkin, jika hanya diukur dengan mata dan telinga, akan terlewatkan atau tak dapat dinikmati seutuhnya.
Lalu, bagaimana membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional? Banyak jalan yang dapat ditempuh. Salah satu caranya adalah dengan menelaah alam semesta. Alam ini, dengan segala keteraturannya yang rumit namun harmonis, menjadi saksi akan adanya kekuatan agung yang mengaturnya. Setiap makhluk, dari yang terkecil hingga yang terbesar, memberikan jejak-jejak kecil akan keberadaan suatu desain yang sangat teratur, yang melampaui apa yang dapat dicapai oleh sekadar kebetulan.
Selain itu, kita dapat menilik argumen Thomas Aquinas yang merumuskan gagasan bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki sebab. Ketika kita menelusuri rangkaian sebab itu hingga ke pangkalnya, kita mungkin akan tiba pada suatu kesimpulan tentang adanya “Penyebab Pertama” yang tak disebabkan, yang menggerakkan segala yang ada tanpa perlu digerakkan. Argumen ini, meskipun telah lama ada, tetap memberikan wawasan yang tajam bagi mereka yang mencari pemahaman rasional akan Tuhan.
Di luar alam, kita juga dapat menemukan jejak Tuhan dalam pengalaman moral dan estetika. Perasaan kagum saat menyaksikan keindahan alam, atau pengalaman mendalam yang menggugah nurani kita ketika menghadapi persoalan etika yang kompleks, adalah petunjuk lain. Dalam fenomena-fenomena sosial, kita melihat bagaimana manusia, yang memiliki kemampuan terbatas, mampu menciptakan sesuatu yang mengarah pada kebaikan bersama. Pengalaman-pengalaman ini menyiratkan adanya nilai-nilai transenden yang melampaui fisik—sebuah realitas yang lebih besar daripada yang tampak di permukaan.
Dengan pendekatan yang rasional, Tuhan tak harus dilihat untuk diyakini. Ia bisa ditemukan melalui refleksi atas keberadaan dan kedalaman yang ada di balik kenyataan. Dengan memanfaatkan akal budi, kita dapat mengurai keberadaan Tuhan bukan sebagai sosok yang kasat mata, namun sebagai entitas yang hadir melalui setiap elemen di sekeliling kita. Dalam pemahaman yang lebih dalam inilah, Tuhan dapat dijumpai—bukan melalui notifikasi atau pesan instan, namun melalui perenungan yang tak lekang oleh waktu, seolah Ia ada di setiap tarikan napas, dalam keheningan yang melampaui kata-kata.
Bukankah hampir seluruh umat manusia menyembah Tuhan, bahkan mereka yang menolak keberadaan-Nya begitu getol membahas tentang-Nya? Fenomena kolektif ini, yang begitu meresap dalam budaya dan kesadaran kita, mengundang kita bertanya: apakah ini sekadar kesadaran palsu, warisan mitos masa lalu, ataukah ini adalah inti bawaan manusia? Mungkinkah, justru melalui kehadiran kolektif ini, manusia diberikan alat untuk menelusuri jejak Tuhan—sebuah panggilan yang tak dapat dipadamkan, berdenyut dalam sanubari kita, seperti bintang-bintang yang selalu tampak dari kejauhan, membisikkan pesan tentang sesuatu yang lebih besar, yang melampaui logika dan keterbatasan kita.
Pada akhirnya, mungkin Tuhan adalah cerminan dari kedalaman jiwa yang tak terjelaskan, yang senantiasa memanggil kita untuk mencari, memahami, dan mendekati-Nya. Mungkin Ia hadir dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai, dalam dorongan untuk merengkuh keindahan, dalam setiap dorongan moral untuk mencapai kebaikan. Tuhan, dengan segala misteri-Nya, adalah misteri yang ada justru karena setiap dari kita, secara kolektif, tak pernah berhenti untuk mencari.