Opini, SuaraNet– Kemerdekaan Indonesia merupakan impian yang diperjuangkan para pahlawan dan rakyat dengan darah dan air mata. Perjuangan penuh pengorbanan itu mengandung kisah tragis yang tidak akan pernah terlupakan. Berkat tekad yang kuat, mereka berhasil mengatasi berbagai kendala hingga
mencapai sebuah kemerdekaan. Kini, peristiwa-peristiwa tersebut menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga elit politik. Maka dari itu, kita sebagai penerus perjuangan harus terus mendukung dan menjaga independensi kemerdekaan yang
sudah kita peroleh. Kemerdekaan yang sejatinya dan memang sudah semestinya adalah milik semua masyarakat
Indonesia, dengan arti bahwa pemegang kedaulatan terbesar adalah rakyat sebagai pemegang kekuasaan terbesar dalam demokrasi. Namun kenyataanya saat ini, kemerdekaan dan
kedaulatan hanya dinikmati oleh segelintir elit belaka. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan terbesar malah dipasung oleh tuan-tuan pemilik kekuasaan yang bernaung di bawah kuasanya.
Dalam hal ini Indonesia sebagai negara demokrasi seakan akan memiliki dua pemegang kedaulatan yang saling bertentangan, yaitu: “Daulat Rakyat” dan “Daulat Tuanku”.
Konsep “Daulat Rakyat” dan “Daulat Tuanku” ditulis oleh Syafii Maarif dalam bukunya “Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman”. Namun sejatinya dalam konteks modern, dua
konsepsi itu bukan lagi soal pertarungan hitam putih, melainkan sebuah simfoni yang terputus: sebuah harmoni yang terancam oleh ketidak-seimbangan, ketidak-adilan, dan kurangnya kepercayaan.
“Daulat Tuanku” menyerupai kota Solo: megah namun sepi. Kekuasaan terpusat pada satu
figur, tanpa mekanisme kontrol yang efektif. Rakyat menjadi penonton pasif. Kebebasan mereka terkekang, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi ancaman nyata. Daulat
tuanku artinya yang berdaulat atau berkuasa (menentukan apapun) adalah seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi dari rakyat atau bangsa itu sendiri, karena mereka merasa yang
menentukan arus perjalanan dari rakyat dan bangsa tersebut. Sementara rakyat dipaksa untuk hanya mengikuti saja, alias harus tunduk dan patuh kepada mereka.
Alhasil, masyarakat Indonesia seakan terjebak dalam paradoks. Di satu sisi, kita merayakan kemerdekaan dan mendewakan demokrasi. Di sisi lain, kenyataan pahit menunjukkan
kedaulatan rakyat yang tergadaikan oleh “Daulat Tuanku”. “Daulat Tuanku” bukan hanya termanifestasi pada figur tunggal, tetapi juga sistem yang telah
terbangun selama bertahun-tahun. Sistem politik yang mengutamakan kepentingan elit dan partai politik, seringkali mengabaikan suara rakyat. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya
menjadi representasi rakyat, justru dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang berkepentingan. Contohnya: proses pemilihan umum (Pemilu). Dalam hal ini Meskipun rakyat memiliki hak
pilih, proses politik seringkali diwarnai dengan money politics, politik dinasti, dan manipulasi suara. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pengaruh rakyat dalam menentukan pemimpin dan kebijakan yang akan mereka jalani.
“Daulat Tuanku” juga tercermin dalam peraturan perundang-undangan. Banyak peraturan yang
tidak berpihak pada rakyat, justru menguntungkan kelompok tertentu. Contohnya, peraturan yang mempermudah pengusaha untuk mengeksploitasi sumber daya alam, tanpa
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Lalu, bagaimana dengan “Daulat Rakyat”? Apakah “Daulat Rakyat” hanyalah slogan kosong
yang terlupakan? Oh, tentu Tidak! “Daulat Rakyat” masih hidup dalam hati rakyat Indonesia. Hanya saja keadaan ini menimbulkan kecemasan dan kekecewaan.
Rakyat mulai menyadari bahwa sistem politik yang ada tidak mencerminkan kehendak dan kebutuhan mereka. Perubahan harus terjadi. Rakyat Indonesia harus bangun dari tidur panjangnya. Mereka harus
mengingat makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Mereka harus bersatu dan bersuara untuk menuntut kedaulatan yang benar-benar berada di tangan mereka.
Bagaimana cara mewujudkan “Daulat Rakyat”? Pertama, dengan meningkatkan kesadaran politik rakyat. Rakyat harus memahami hak dan kewajiban mereka dalam demokrasi. Mereka harus belajar untuk menilai kandidat dan kebijakan dengan kritis.
Kedua, memperkuat lembaga demokrasi. Lembaga pemilu, partai politik, dan media massa harus bersih dan berpihak pada rakyat. Mereka harus menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan transparan.
Ketiga, memperkuat gerakan masyarakat. Masyarakat harus aktif dalam mengawal kebijakan pemerintah dan menegakkan keadilan sosial. Mereka harus bersuara ketika hak dan kepentingan mereka terlanggar.
Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan atas permusyawaratan perwakilan. Pokok pikiran yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945 di atas juga bermakna bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini. Artinya, setiap individu rakyat Indonesia adalah pemegang kedaulatan dan atau kalau boleh dikatakan adalah para “pemegang saham” Negara Kesatuan republik Indonesia.
Sebenarnya perbedaan mendasar antara kedua konsep di atas terletak pada hubungan antara penguasa dan rakyat. “Daulat Rakyat” menitikberatkan pada dialog, transparansi, dan tanggung
jawab. “Daulat Tuanku” menekankan pada hierarki, kepatuhan, dan kekuasaan absolut. Namun dua konsepsi itu sedianya tidak dipandang sebagai sesuatu yang bertolak-belakang, bertentangan, dan saling mereduksi satu sama lain. Sebab, tantangannya bukan memilih salah satu, melainkan menemukan nada keseimbangan yang dapat menciptakan simfoni yang harmonis.
Sistem yang demokratis namun efektif, yang melindungi hak-hak rakyat sekaligus mencegah kekacauan, adalah kunci untuk mencapai keseimbangan ini. Reformasi sistem politik, penguatan lembaga pengawasan, dan peningkatan partisipasi masyarakat yang bermakna, menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan ini.
*) Rohaili – Mahasiswa Institut Agama Islam Al-Khairat Pamekasan
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi SuaraNet.id
Penulis : Rohaili
Editor : Mosdalifah