Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

- Publisher

Rabu, 8 Januari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dok. Foto Rohaili Mahasiswa IAI AL - KHAIRAT PAMEKASAN

Dok. Foto Rohaili Mahasiswa IAI AL - KHAIRAT PAMEKASAN

Opini, SuaraNet Kemerdekaan Indonesia merupakan impian yang diperjuangkan para pahlawan dan rakyat dengan darah dan air mata. Perjuangan penuh pengorbanan itu mengandung kisah tragis yang tidak akan pernah terlupakan. Berkat tekad yang kuat, mereka berhasil mengatasi berbagai kendala hingga

mencapai sebuah kemerdekaan. Kini, peristiwa-peristiwa tersebut menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga elit politik. Maka dari itu, kita sebagai penerus perjuangan harus terus mendukung dan menjaga independensi kemerdekaan yang

sudah kita peroleh. Kemerdekaan yang sejatinya dan memang sudah semestinya adalah milik semua masyarakat

Indonesia, dengan arti bahwa pemegang kedaulatan terbesar adalah rakyat sebagai pemegang kekuasaan terbesar dalam demokrasi. Namun kenyataanya saat ini, kemerdekaan dan

kedaulatan hanya dinikmati oleh segelintir elit belaka. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan terbesar malah dipasung oleh tuan-tuan pemilik kekuasaan yang bernaung di bawah kuasanya.

Dalam hal ini Indonesia sebagai negara demokrasi seakan akan memiliki dua pemegang kedaulatan yang saling bertentangan, yaitu: “Daulat Rakyat” dan “Daulat Tuanku”.

Konsep “Daulat Rakyat” dan “Daulat Tuanku” ditulis oleh Syafii Maarif dalam bukunya “Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman”. Namun sejatinya dalam konteks modern, dua

konsepsi itu bukan lagi soal pertarungan hitam putih, melainkan sebuah simfoni yang terputus: sebuah harmoni yang terancam oleh ketidak-seimbangan, ketidak-adilan, dan kurangnya kepercayaan.

Baca Juga  Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan

“Daulat Tuanku” menyerupai kota Solo: megah namun sepi. Kekuasaan terpusat pada satu

figur, tanpa mekanisme kontrol yang efektif. Rakyat menjadi penonton pasif. Kebebasan mereka terkekang, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi ancaman nyata. Daulat

tuanku artinya yang berdaulat atau berkuasa (menentukan apapun) adalah seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi dari rakyat atau bangsa itu sendiri, karena mereka merasa yang

menentukan arus perjalanan dari rakyat dan bangsa tersebut. Sementara rakyat dipaksa untuk hanya mengikuti saja, alias harus tunduk dan patuh kepada mereka.

Alhasil, masyarakat Indonesia seakan terjebak dalam paradoks. Di satu sisi, kita merayakan kemerdekaan dan mendewakan demokrasi. Di sisi lain, kenyataan pahit menunjukkan

kedaulatan rakyat yang tergadaikan oleh “Daulat Tuanku”. “Daulat Tuanku” bukan hanya termanifestasi pada figur tunggal, tetapi juga sistem yang telah

terbangun selama bertahun-tahun. Sistem politik yang mengutamakan kepentingan elit dan partai politik, seringkali mengabaikan suara rakyat. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya

menjadi representasi rakyat, justru dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang berkepentingan. Contohnya: proses pemilihan umum (Pemilu). Dalam hal ini Meskipun rakyat memiliki hak

pilih, proses politik seringkali diwarnai dengan money politics, politik dinasti, dan manipulasi suara. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pengaruh rakyat dalam menentukan pemimpin dan kebijakan yang akan mereka jalani.

Baca Juga  Soroti Kecelakaan Mahasiswa Akibat Kabel Fiber, Direktur LHB: Polri Harus Segera Usut Kasus Ini

“Daulat Tuanku” juga tercermin dalam peraturan perundang-undangan. Banyak peraturan yang

tidak berpihak pada rakyat, justru menguntungkan kelompok tertentu. Contohnya, peraturan yang mempermudah pengusaha untuk mengeksploitasi sumber daya alam, tanpa

memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Lalu, bagaimana dengan “Daulat Rakyat”? Apakah “Daulat Rakyat” hanyalah slogan kosong

yang terlupakan? Oh, tentu Tidak! “Daulat Rakyat” masih hidup dalam hati rakyat Indonesia. Hanya saja keadaan ini menimbulkan kecemasan dan kekecewaan.

Rakyat mulai menyadari bahwa sistem politik yang ada tidak mencerminkan kehendak dan kebutuhan mereka. Perubahan harus terjadi. Rakyat Indonesia harus bangun dari tidur panjangnya. Mereka harus

mengingat makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Mereka harus bersatu dan bersuara untuk menuntut kedaulatan yang benar-benar berada di tangan mereka.

Bagaimana cara mewujudkan “Daulat Rakyat”? Pertama, dengan meningkatkan kesadaran politik rakyat. Rakyat harus memahami hak dan kewajiban mereka dalam demokrasi. Mereka harus belajar untuk menilai kandidat dan kebijakan dengan kritis.

Kedua, memperkuat lembaga demokrasi. Lembaga pemilu, partai politik, dan media massa harus bersih dan berpihak pada rakyat. Mereka harus menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan transparan.

Ketiga, memperkuat gerakan masyarakat. Masyarakat harus aktif dalam mengawal kebijakan pemerintah dan menegakkan keadilan sosial. Mereka harus bersuara ketika hak dan kepentingan mereka terlanggar.

Baca Juga  Baru Dilantik, Ketua HMPS PIAUD IAIN Madura: Waktunya Kita Ciptakan Sejarah

Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan atas permusyawaratan perwakilan. Pokok pikiran yang terkandung dalam

pembukaan UUD 1945 di atas juga bermakna bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini. Artinya, setiap individu rakyat Indonesia adalah pemegang kedaulatan dan atau kalau boleh dikatakan adalah para “pemegang saham” Negara Kesatuan republik Indonesia.

Sebenarnya perbedaan mendasar antara kedua konsep di atas terletak pada hubungan antara penguasa dan rakyat. “Daulat Rakyat” menitikberatkan pada dialog, transparansi, dan tanggung

jawab. “Daulat Tuanku” menekankan pada hierarki, kepatuhan, dan kekuasaan absolut. Namun dua konsepsi itu sedianya tidak dipandang sebagai sesuatu yang bertolak-belakang, bertentangan, dan saling mereduksi satu sama lain. Sebab, tantangannya bukan memilih salah satu, melainkan menemukan nada keseimbangan yang dapat menciptakan simfoni yang harmonis.

Sistem yang demokratis namun efektif, yang melindungi hak-hak rakyat sekaligus mencegah kekacauan, adalah kunci untuk mencapai keseimbangan ini. Reformasi sistem politik, penguatan lembaga pengawasan, dan peningkatan partisipasi masyarakat yang bermakna, menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan ini.

*) Rohaili – Mahasiswa Institut Agama Islam Al-Khairat Pamekasan

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi SuaraNet.id

Penulis : Rohaili

Editor : Mosdalifah

Berita Terkait

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi
Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura
Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO
Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan
Menangkal Overclaim: Peran Edukasi dalam Meningkatkan Kecerdasan Konsumen
Keranjang Belanja yang Berlubang, Mengapa Data Kita Mudah Bocor di E-commerce?
3 Srikandi Berebut Kursi Gubernur Jawa Timur
Tuhan di Era Logika: Apakah Kita Masih Butuh Bukti?

Berita Terkait

Senin, 13 Januari 2025 - 10:42 WIB

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi

Rabu, 8 Januari 2025 - 19:47 WIB

Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Minggu, 8 Desember 2024 - 12:30 WIB

Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura

Kamis, 5 Desember 2024 - 12:36 WIB

Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO

Senin, 2 Desember 2024 - 13:44 WIB

Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan

Berita Terbaru

Berita

Tradisi Penyambutan Kapolres Baru di Polres Pamekasan

Sabtu, 18 Jan 2025 - 12:15 WIB

Gambar: Pinteres

Lifestyle

7 Rahasia Kecil yang Akan Mengubah Hidup Anda Selamanya!

Jumat, 17 Jan 2025 - 12:34 WIB

Nasional

Ditanya Soal Pertemuan Prabowo-Megawati, begini Respon Jokowi

Kamis, 16 Jan 2025 - 19:11 WIB