Fenomena overclaim atau klaim berlebihan dalam promosi produk skincare di TikTok telah menjadi isu kontroversial di Indonesia. Banyak perusahaan kosmetik melakukan promosi di media sosial, khususnya TikTok kini industri kecantikan tanah air kembali dibuat heboh dengan dugaan skincare overclaim yang diunggah oleh akun TikTok @dokterdetektif. Dalam konten yang tengah banyak diperbincangkan itu disebutkan jika persentase kandungan bahan aktif di dalam sejumlah produk skincare viral ternyata tidak sesuai dengan klaimnya. Namun, klaim-klaim ini menimbulkan berbagai persoalan etika dan hukum, terutama ketika manfaat yang dijanjikan tidak terbukti secara ilmiah atau tidak sesuai dengan ekspektasi konsumen. Tantangan yang muncul meliputi pelanggaran etika bisnis, kekayaan intelektual, privasi pengguna, perlindungan konsumen, kebebasan berbicara, dan kepatuhan terhadap
regulasi e-commerce. Pada esai ini, akan dibahas kasus pelanggaran etika oleh perusahaan skincare di Indonesia yang telah menjadi sorotan di TikTok, serta analisis hukum berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
Data yang digunakan untuk menyusun analisis ini berasal dari dokumentasi publik, seperti berita di media, tanggapan dari lembaga pengawasan, dan komentar dan reaksi yang tersebar luas dari pengguna TikTok. Kasus perusahaan yang dianalisis dalam konteks overclaim ini termasuk merek besar hingga merek baru yang populer di media sosial.
Studi kasus perusahaan Skincare yang terkena Overclaim salah satunya perusahaan dari Originote, sebuah merek skincare, meluncurkan produk dengan klaim menarik. Salah satunya adalah Gluta Bright B3 Serum yang disebut mengandung 10% niacinamide, bahan aktif yang dapat mencerahkan kulit dan mengurangi hiperpigmentasi. Selain itu, ada juga Retinol Cream yang diklaim mengandung tiga jenis retinol jadi di produk tersebut mengandung Retinol, Hydro Pinacolone Retinoat dan Retinol untuk merangsang produksi kolagen dan memperbaiki tekstur kulit.
Namun, Doktif, seorang ahli yang sering meneliti produk skincare, memutuskan untuk memverifikasi klaim tersebut melalui uji laboratorium. Hasilnya mengejutkan Doktif menemukan bahwa kandungan niacinamide dalam Gluta Bright B3 Serum hanya 4,97%, jauh di bawah klaim 10%. Dalam videonya, Doktif menyampaikan keprihatinan terhadap perbedaan signifikan ini, menekankan bahwa kadar tersebut cukup berbeda dari klaim awal. Untuk produk Retinol Cream, hasil uji lebih mengejutkan lagi, karena kandungan retinol di produk ini “tidak terdeteksi sama sekali.” Temuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai keakuratan klaim dari produk tersebut. Menanggapi hal ini, pihak Originote memberikan klarifikasi melalui media sosial mereka. Mereka meminta maaf kepada konsumen dan berjanji akan melakukan pengujian ulang untuk memastikan kebenaran klaim produk. Dalam pernyataan resminya, Originote menyampaikan permohonan maaf kepada pengguna yang merasa kecewa dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas produknya.
Tidak hanya perusahaan originote ternyata ada perusahaan yang lain juga yaitu Azarine. Awal mula tuduhan overclaim ini terjadi saat Dokter Detektif melakukan uji laboratorium terhadap beberapa produk skincare, termasuk produk retinol dan niacinamide Azarine yang diklaim mengandung persentase tinggi bahan aktif. Hasil pengujian menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak akurat. Dalam uji retinol, dua produk yang mengklaim mengandung 1% encapsulated retinol ternyata hanya mengandung 0,0096% dan 0,45% retinol. Dokter Detektif menjelaskan bahwa meski produk tidak berbahaya, manfaat yang diharapkan konsumen mungkin tidak tercapai.
Hasil uji niacinamide juga mengejutkan. Salah satu produk yang mengklaim mengandung 10% niacinamide hanya mengandung 1,76%, sedangkan produk lain hanya 0,45%. Dokter Detektif menyatakan bahwa klaim berlebihan ini mengurangi manfaat produk yang diharapkan konsumen.Menanggapi kontroversi ini, pihak Azarine menyampaikan permintaan maaf melalui akun TikTok resmi. Mereka menjelaskan bahwa perbedaan hasil uji dapat disebabkan oleh faktor eksternal, seperti kemasan dan suhu penyimpanan. Azarine berjanji akan memperbaiki kemasan produk agar lebih kokoh dan tidak transparan untuk menjaga kualitas bahan aktif, serta melakukan pengujian ulang di laboratorium terakreditasi.
Di Indonesia, regulasi terkait kalin produk kosmetik diatur oleh Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM), berdasarkan peraturan kepala BPOM Nomor 12 tahun 2020 tentang tata cara pendaftaran tentang Tata Cara Pendaftaran Kosmetik, disebutkan bahwa produk kosmetik yang beredar di Indonesia wajib memiliki izin edar dan memenuhi syarat label yang benar, termasuk klaim yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, produsen wajib memberikan informasi yang akurat dan tidak menipu tentang produk yang mereka jual. Perusahaan yang terbukti melakukan overclaim dapat dianggap melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat. Salah satu tugas penting Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah mengawasi dan memastikan bahwa klaim produk perawatan kulit sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, regulasi di Indonesia terhadap konten di media sosial masih lemah, sehingga sulit bagi BPOM untuk mengawasi semua konten promosi di platform seperti TikTok. Meski begitu, upaya BPOM dalam mengedukasi masyarakat dan bekerja sama dengan platform sosial untuk menindaklanjuti promosi yang menyesatkan tetap diperlukan untuk melindungi konsumen.
Kasus overclaim produk skincare di TikTok menunjukkan betapa pentingnya memantau klaim pemasaran di media sosial. Tidak hanya diperlukan regulasi yang kuat, tetapi juga sangat penting untuk mendidik pelanggan agar mereka lebih cerdas dalam menilai klaim produk. Konsumerisme, sebagai fenomena di mana masyarakat terdorong untuk terus membeli dan menggunakan barang atau jasa, perlu diimbangi dengan kecerdasan dalam memahami produk yang dikonsumsi. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh strategi pemasaran canggih dan teknik persuasi, konsumen sering kali hanya dipandang sebagai objek pasif yang mudah dipengaruhi oleh tren dan kebutuhan yang diciptakan secara artifisial. Akibatnya, konsumen rentan terhadap pengeluaran yang tidak diperlukan dan kurang kritis terhadap dampak jangka panjang dari konsumsi mereka, baik pada diri sendiri maupun lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk memiliki kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang apa yang mereka beli, dan mengapa mereka membelinya.
Dengan mengedukasi diri, konsumen dapat menghindari jebakan pemasaran yang hanya bertujuan untuk menguntungkan produsen tanpa memberikan nilai tambah yang nyata bagi konsumen itu sendiri. Kecerdasan sebagai konsumen juga melibatkan kemampuan untuk memilah dan menilai informasi secara kritis, sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dan bertanggung jawab dalam hal pembelian. Dengan demikian, konsumen dapat menjadi subjek aktif yang tidak hanya menjadi target industri, tetapi juga memiliki kendali penuh atas keputusan konsumsinya.
*) Penulis adalah Keisya Hartina Utomo, seorang mahasiswi di Universitas Ciputra Surabaya dengan jurusan Management Bisnis.