Ditulis oleh Gafur Abdullah
Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan strategi baru untuk segera mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 serta secara konsisten meningkatkan target pencapaian energi terbarukan.
Cita-cita Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Sehingga Indonesia harus tetap optimis dan ambisius dalam meningkatkan bauran energi terbarukannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itulah penggalan narasi yang disampaikan Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) pada diskusi virtual bertajuk Road to Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023, Expert Discussion Webinar” pada Kamis, 27 Juli 2023.
“Bahkan dalam proses pemutakhiran dokumen KEN, target bauran energi terbarukan ini butuh dijaga atau malah ditingkatkan. Yang diperlukan adalah strategi baru yang menimbang perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi saat ini dan dapat diimplementasikan dalam waktu singkat, misalnya bagaimana mengakselerasi PLTS atap seoptimal mungkin dalam dua tahun kedepan,” jelas Deon.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia, melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN), sudah mencanangkan target peningkatan bauran energi primer mencapai 23% di tahun 2025 sebagai salah satu tolak ukur.
Berdasarkan data Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM), pemanfaatan energi terbarukan nasional pada 2022 baru mencapai 12,3% dari target 23% pada 2025. IESR memandang sektor kelistrikan memiliki peluang paling besar untuk mendukung capaian target energi terbarukan.
Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan upaya untuk mencapai pertumbuhan nasional berkelanjutan, (IESR) menilai akselerasi pengembangan energi terbarukan menjadi sebuah keharusan.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) , diperlukan 45,2 GW listrik yang bersumber dari energi terbarukan pada tahun 2025. Namun, pengembangan energi terbarukan masih lambat dengan pertumbuhan hanya sekitar 400-500 MW per tahunnya selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan tersebut juga jauh dari target pemerintah untuk meningkatkan energi terbarukan 2-3 GW per tahun dalam lima tahun terakhir.
His Muhammad Bintang, Peneliti Teknologi Penyimpanan Energi dan Materi Baterai, IESR menuturkan, berdasarkan studi IESR (2023), pembangkit listrik berkontribusi lebih dari 40% dari total emisi sektor energi di Indonesia.
“Untuk mendukung capaian bauran energi terbarukan sebesar 23%, dan mempertimbangkan realisasi pertumbuhan permintaan energi yang lebih rendah dari proyeksi RUEN, maka dibutuhkan setidaknya 24 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan terpasang yang perlu terpasang pada tahun 2025, atau harus meningkat sebesar 13 GW lebih dalam kurun waktu 2 tahun kedepan. Yang berarti, pertumbuhan pembangkit energi terbarukan perlu mencapai 5-7 GW per tahunnya,” katanya, dalam kesempatan yang sama.
Dia bilang, untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, diperlukan beberapa strategi konkret.
Berdasarkan studi IESR, ungkap Bintang, beberapa strategi yang teridentifikasi pada sektor ketenagalistrikan di antaranya meningkatkan keberhasilan Commercial Operation Date (COD) PLTP sebesar 1,4 GW dan PLTA/PLTM sebesar 4,2 GW, peningkatan kapasitas program dedieselisasi PLTD tersebar 588 MW menjadi PLTS 1,2 GWp dan baterai, pembangunan 4,7 GW PLTS dan 0,6 GW PLTB.
“Kemudian, implementasi co-firing biomassa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU Jawa-Bali dan 20% untuk PLTU di luar Jawa-Bali dan adanya rencana pensiun dini PLTU, dari beberapa pilihan teknologi yang ada, penambahan kapasitas PLTS sebenarnya dapat menjadi solusi untuk mengejar target bauran 23% dalam waktu singkat karena dibandingkan teknologi pembangkit lain, pembangunan PLTS relatif lebih cepat,” tambahnya.
Akselerasi pengembangan energi terbarukan, jelas Bintang, menuntut kesiapan, fleksibilitas sistem energi listrik untuk meningkatkan penetrasi macam energi terbarukan (variable renewable energy,VRE).
Sedangkan untuk memenuhi target NZE, ujarnya, peran pembangkit VRE perlu ditingkatkan, dari saat ini 0,4% menjadi sekitar 4% pada 2025 dan meningkat hingga 77% pada 2060. Selain itu, investasi dibutuhkan tidak hanya untuk pembangunan pembangkit tetapi juga pengembangan infrastruktur untuk mengakomodasi penetrasi variable renewable energy (VRE).
#Liputan ini sebagai bentuk tindak lanjut Program Pelatihan Transisi Energi di Subnasional Jambi 10-11 Juli 2023 Institute for Essential Services Reform (IESR).