Saya sering menjumpai tulisan-tulisan yang bagus secara isi, penyampaiannya disuguhkan secara apik, dan gagasan yang disampaikan dengan segar. Namun, beberapa tulisan bagus itu tidak menarik minat saya sama sekali untuk membacanya lebih dalam. Bukan karena pembahasannya yang klise atau monoton, namun terkadang disebabkan karena beberapa kesalahan yang saya anggap fatal dan bagi beberapa orang dianggap sebagai hal yang wajar.
Beberapa waktu kemarin, saya membaca sebuah buku. Bagi saya tidak ada masalah dari segi isi. Penulis menyampaikannya dengan perspektifnya yang (saya kira) cukup matang. Namun, mungkin penulis melupakan hal sepele yang akhirnya membuat saya tidak menyelesaikan bacaan pada buku itu secara tuntas. Hanya setengah buku, itupun tidak sampai.
Saya melihat buku itu mengulas sebuah fakta sosial, mengangkat sebuah problematika dengan memakai perspektif yang baik, lengkap dengan teori-teori yang mendukung. Namun, saya masih melihat beberapa kata tidak ditulis sebagaimana mestinya, tidak tepat, bahkan dalam membedakan kata ‘di’ yang menunjukkan tempat dengan ‘di’ yang menjadi kata depan.
Ya, ejaan. Saya kira ejaan adalah unsur paling sederhana dalam tulisan, bahkan terkenal sangat basic (dasar). Namun, hal yang paling dasar itulah yang justru dilupakan oleh beberapa penulis, bisa dikatakan cukup banyak penulis yang acuh terhadap unsur itu. Beberapa saya masih melihat dosen (yang katanya sudah menyelesaikan disertasi) rupanya masih compang-camping dalam hal ejaan, beberapa penulis buku, hingga tulisan-tulisan di berbagai produk dengan merek terkenal pun melakukan kesalahan yang sama.
Ini merupakan realitas yang tidak boleh selalu dimaafkan. Sebab, saya sendiri berani mengatakan bahwa ejaan dalam sebuah tulisan adalah ruh. Naifnya, beberapa dari mereka menyatakan secara blak-blakan bahwa ejaan tidak terlalu penting, yang penting gagasan dan isi yang disampaikan bagus. Ini yang pernah saya temui ketika mengikuti salah satu pelatihan menulis online atau daring.
Itulah mengapa setiap kali teman meminta saya mengomentari tulisannya, baik di grup media online kepenulisan atau dalam forum-forum kepenulisan luring, yang saya amati terlebih dahulu adalah ejaannya. Baru ketika ejaan yang ada dalam tulisan sudah lumayan, maka kemudian saya beralih pada komentar secara isi atau gagasan yang disampaikan.
Widiya Fitriantiwi (2020), mengatakan dalam bukunya, Esai Penerapan Ejaan Bahasa Indonesia, ejaan adalah suatu hal yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasa agar bahasanya teratur dan seragam. Hal itu senada dengan 4 fungsi ejaan, sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com, antara lain; sebagai pembakuan tata bahasa, pembakuan kosa kata serta istilah, penyaring unsur bahasa lain, dan agar bahasa lebih teratur.
Bagi pemula, mungkin ejaan adalah suatu unsur yang tidak perlu diperhatikan. Hal itu agar penulis pemula bisa mengekspresikan perasaan atau idenya dengan tanpa aturan. Namun, ketika ia sudah mulai menguasai atau setidaknya paham menukarkan sebuah gagasan dengan tulisan, maka memerhatikan ejaan adalah suatu hal yang perlu.
Menulis dengan ejaan yang benar adalah cara kita menghargai bahasa kita, bahasa Indonesia. Ejaan yang secara histori telah mengalami perubahan berkali-kali, sejak Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), sampai berubah menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), bukan tanpa alasan. Hal itu diperuntukkan tulisan-tulisan yang ada sistematis, tidak baku, lebih beraturan, dan enak dibaca.
Tulisan ini sama sekali tidak memaksa pembaca untuk menulis dengan ejaan yang sempurna. Tidak juga menyalahkan penulis-penulis yang mengalami kecelakaan dalam hal ejaan. Namun, tulisan ini adalah respon (yang bisa dikatakan risih) terhadap mereka yang dengan sengaja mengacuhkan ejaan, menganggap substansi lebih penting, dan bahkan menganggap ejaan tidak penting sama sekali.
Saya setuju dan akan bersifat pro terhadap beberapa dosen saya yang ketika ingin mengecek tulisan mahasiswanya (dari makalah sampai penelitian) lebih dulu mengecek ketepatan ejaan sebelum mengecek lebih jauh terhadap isi tulisan. Sebab, bagi beberapa orang yang paham terhadap sebuah tulisan ideal, tulisan dengan substansi keren pun akan terasa hambar jika ejaannya amburadul.
Menulis tidak hanya soal mengungkapkan perasaan, mengungkapkan isi hati dan pikiran. Dalam menulis, ada aturan yang berlaku, sekalipun genre tulisan yang dibuat adalah tulisan bebas, seperti esai popular, opini popular, cerpen, dan puisi. Namun, nyatanya, sebebas apapun genre yang dibuat, tulisan-tulisan tersebut ada kaidahnya atau aturannya. Wallah a’lam…