MALUKU, SUARANET-Maluku Utara adalah salah satu provinsi di kawasan timur Indonesia dengan 23,72 persen daratan atau 45.069,66 km² dan 76,28 persennya perairan atau 100.731,44 km². Memiliki 395 Pulau dengan 64 pulau berpenghuni dan 331 belum dihuni. Masuk daerah merapi, pertemuan jalur gempa Lingkar Pasifik, dan pulau-pulau kecil. Berpenduduk sekitar 1.316.973 jiwa mendiami 1.199 desa. Termasuk dalam jalur Wallace dan Coral Triangle.
Kaya akan keanekaragaman hayati itu ; 73 karang keras yang termasuk dalam 17 family. 200 spesies sponge. 28 keong laut dari family Ovulidae. 36 spesies karang jamur dari famili Fungiidae. 87 spesies udang-udangan Palaemonid. 25 spesies nudibranchia. 31 bintang laut. 30 sampai 31 spesies teripang. 15 spesies bintang ular. 20 spesies parasit pada gastropoda. 22 spesies bivalvia 991 spesies ikan karang dari 77 famili dan 288 spesies ikan karang.
Namun, potensi sumber daya alamnya kini terancam industri ekstraktif. Total 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berada di di Maluku Utara yang terdapat di 8 Kabupaten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu disampaikan Faisal Ratuela, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara (Malut) dalam diskusi virtual bertajuk “Ancaman Ekspansi Industri Ekstraktif, Kerusakan Ekosistem Laut Serta Dampaknya Bagi Ketahanan Pangan Masyarakat Di Kawasan Timur Indonesia” oleh Jaring Nusa, Medio Juni 2022 lalu.
“Beberapa IUP itu ada 3 di Kab. Pulau Morotai 2.609 hektar. 13 di Kab. Halmahera Timur 102.979,90 hektare. 9 Kab. di Halmahera Tengah 19.772,59 hektare. 16 di Kab. Halmahera Selatan 64.371,90 hektar. Dan 13 dari 16 di Kabupaten ini Pulau Obi dengan luas 38.680 hektar. 10 di Kab. Kepulauan Sula 84.909,40 hektare. 22 di Kab. Pulau Taliabu 84.909,40 hektare. 9 di Kab. Halmahera Utara 15.142,59 hektare. 6 di Kab. Halmahera Barat 20.542,40 hektare,” bebernya.
Dari hutan seluas 2.519.623,91 hektare berstatus Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan seluas 76.800,51 hektare. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat seluas 5.851 hektare. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman seluas 67.684 hektare. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam seluas 565.594 hektare. 79,82% Luasan Daratan kurang lebih 3.151.277 hektare. Hutan Konservasi kurang lebih 218.499 hektare. Hutan Lindung kurang lebih 584.058 hektare. Hutan Produksi 1.712.663 hektare.
Dia bilang, kondisi daratan yang cukup kecil ini menjadi momok bagi masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil. “Contoh bisnis ekstraktif di Malut, seperti tambang nikel dan pabrik pemrosesan, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda, Halmahera Tengah dan industri pertambangan di Pulau Obi. Keduanya jadi kawasan industri masuk dalam proyek strategis nasional,” jelasnya.
“Masyarakat di Pulau Obi yang memanfaatkan sumber daya perairan pun mengalami pencemaran akibat pertambangan. Akibatnya, yang awalnya masyarakat nelayan dan petani akhirnya menjadi buruh pertambangan. Berdasarkan hasil riset salah satu peneliti dan dosen Universitas Negeri Khairun, ditemukan kandungan nikel di dalam tubuh ikan yang sudah melebihi ambang batas,” jelasnya.
Dia cerita, WALHI Malut menyerukan agar pemanfaatan sumber daya alam harus melihat daya dukung dan daya tampung alam terhadap keselamatan rakyat. Mendorong bagaimana menghidupkan sumber daya alam yang dikelola secara arif oleh masyarakat untuk ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. Seperti pala dan cengkeh.
Persoalan di wilayah timur lainnya, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga disampaikan Direktur Yayasan Tana Ile Boleng, Veronika Lamahoda. Selain ekologinya terancam desakan investasi pariwisata premium bagi laut, ekosistem lautnya juga terancam aktivitas pengeboman ikan dan sudah berlangsung cukup lama. Aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak berdampak langsung terhadap kerusakan terumbu karang.
Menurutnya, cerita tentang pengeboman ikan bukan hal baru bagi masyarakat di Flores Timur. Karena terjadi hampir di seluruh wilayah perairannya dan telah berlangsung bertahun-tahun.
Di NTT, jelasnya, belum ada Perda baik di provinsi maupun kabupaten yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil. Ranah pengelolaan laut di provinsi belum ada apalagi di kabupaten. Kami di Flores timur mengenai pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir belum ada sama sekali. Baik tingkat kabupaten maupun desa.
“Ada ketidakefektifan pengurusan laut lantaran dialihkan ke provinsi. Tidak ada sistem tata kelola yang menjadi panduan bagi masyarakat untuk menata wilayah pesisir dengan jumlah desa yang mencapai 35. Menurut saya, untuk mengatur Flores Timur saja sudah sulit. Sehingga dalam pantauan kami melihat tidak efektifnya pengawasan dan tata kelola pengurusan laut di wilayah Flores Timur. Hampir seluruh desa di Flore Timur tidak memiliki sistem tata kelola pengelolaan wilayahnya,” ungkapnya.
Akibatnya, masyarakat di akar rumput kurang memiliki komitmen dalam mengelola sumber daya alamnya. Sehingga pengeboman yang masih terus terjadi yang merusak terumbu karang di Flores Timur khususnya di Solor Selatan dan Flores bagian Utara. Di wilayah tersebut kondisi terumbu karangnya sudah sangat rusak. Bahkan di beberapa tempat sudah rata dengan tanah akibat pengeboman.
Yayasan Tana Ile Boleng, katanya, mencoba meminimalisir pengeboman dan memulihkan ekosistem laut di Flores Timur. Sejak 2017 wilayah yang menjadi percontohan daerah rehabilitasi terjadi perubahan yang signifikan. Saat dilakukan penelitian tahun 2021 hasilnya biota laut perlahan kembali pulih. Dan percontohan wilayah untuk direhabilitasi. Dalam implementasinya, Yayasan tersebut membuat lumbung ikan desa sebesar 8 hektar yang terdiri dari zona inti dan zona penyangga dan hasilnya setelah 4 tahun cukup menggembirakan.
“Segera dibuat peraturan yang jelas mengenai pengurusan dan tata kelola sumber daya laut di sini, agar masyarakat memiliki panduan bersama untuk meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan,” harapnya.
Hironimus Pala, Ketua Badan Pengurus Yayasan Tananua Flores menjelaskan, banyaknya jaminan ketahanan pangan melalui aturan yang dibuat pemerintah tidak sesuai fakta yang terjadi. Seperti realitas yang terjadi di NTT. Pembangunan meminggirkan petani, nelayan dan produsen pangan skala kecil. Selain itu kemiskinan terbanyak ada di Desa. Kelangkaan pupuk dan ketergantungan terhadap bahan kimia yang berdampak terhadap gizi buruk, kerusakan ekologis dan tergusurnya keragaman pangan.
“Kemiskinan di Kabupaten Ende mencapai 22 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari angka kemiskinan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Petani dan nelayan harus diberi ruang hidup bersama kearifan lokalnya dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Kalau tidak kuat dari bawah dan kawan-kawan di pusat berjuang sendiri tanpa adanya data dan kolaborasi dari akar rumput akan memberi potensi menghilangkan ruang kelola masyarakat yang digusur oleh industri besar,” ungkapnya.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Laut WALHI mengungkapkan terdapat 1405 IUP dengan total luasan 2,9 juta hektar yang terdiri dari IUP di wilayah pesisir dan di wilayah laut tahun 2021.
“Industri ekstraktif sendiri telah mengubah corak produksi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai identitas bahari, nelayan merupakan mata pencaharian yang mendominasi wilayah pesisir dan pulau kecil. Sayangnya, jumlah nelayan saat ini mengalami penurunan akibat industri ekstraktif. Di Pulau Sulawesi telah terjadi penurunan signifikan jumlah nelayan,” jelasnya.
Menurutnya, reklamasi yang dilakukan di beberapa wilayah di Kawasan Timur Indonesia telah berdampak dari segi lingkungan dan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau kecil. Reklamasi telah membuat penghilangan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil. Selain dari reklamasi, katanya, aktivitas penambangan pasir laut juga turut berkontribusi dalam menghilangkan mata pencaharian nelayan.