Liputan Mendalam oleh Gafur Abdullah
SUARANET-Langit berawan tipis di atas Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading Kabupaten Lombok Timur Sabtu, 27 Agustus 2022 pagi jelang siang. Salah satu jalan lurus dan sedikit menanjak itu sedikit lengang. Berbagai jenis pepohonan sebagian tampak menjulang dan sebagian rimbun di kanan kiri jalan.
Di kanan jalan dari arah selatan, sebuah rumah dengan pekarangan tampak asri berpagar tanaman perdu cukup rapat dan tanaman hias menempel di luar terasnya. Di halaman rumah itu, tanaman cabai, pandan, di dalam polybag juga di dalam pot dan beberapa tanaman perdu lainnya tumbuh sehat mengelilingi penampungan air berbentuk persegi. Di samping kanan rumah itu belasan pohon pisang tumbuh segar. Di samping kiri rumah terdapat beberapa pohon coklat dan nangka.
Perempuan muda berkerudung hitam, baju warna merah muda, rok warna hitam tampak keluar dari pintu rumah bercat kuning yang sudah agak lusuh. Perempuan berumur mengikuti di belakangnya. Dialah Minhatul Aula dan Baiq Zuhriyati, ibunya. Keluarga kecil ini memilih untuk tidak ikut dan memutus rantai perkawinan anak di desanya.
“Hah, menikah? Bagaimana mungkin ia menjadi ibu rumah tangga? Usianya kan masih muda dan sedang sekolah. Kenapa orang tuanya tega memaksa anak di bawa umur untuk menikah? Bagaimana ia sanggup memikul beban sebagai ibu rumah tangga di usia yang seharusnya belajar dan bermain bersama teman-teman lainnya?” katanya. Mata Minha berkaca-kaca. Seonggok pertanyaan itu berhamburan dan berputar dalam pikirannya sekitar satu setengah tahun lalu, saat masih di bangku sekolah menengah atas.
Beberapa bulan sebelumnya, Minha mendengar kabar rumah tangga temannya sedang bermasalah; sang istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tak berselang lama, temannya itu datang dan bercerita kepada Minha. Ia membuka diri untuk mendengarkan cerita dan berjanji untuk melindungi temannya dari suaminya sambil memeluknya erat seraya berkata berkata dalam hatinya. “Sampai kapan kasus seperti ini akan terus terjadi? Siapa yang akan menyelesaikannya?” Air mata Minha tumpah. Rasa sedih dan cemas berkecamuk dalam benaknya.
Pada 8 sampai 10 September 2021, Minha mengikuti pelatihan Save The Children (STC) Indonesia selama tiga hari di kantor desa. Sebuah organisasi yang telah beroperasi sejak 1976 di Indonesia dan berjejaring internasional yang konsen memperjuangkan hak-hak anak di 120 negara.
Akhir 2021, usianya sudah 18 tahun. Ia pun diminta untuk menjadi salah satu fasilitator forum anak dan fokus pada kegiatan child-led advokacy-advokasi yang dipimpin anak. Sebuah pendekatan yang konsen mengadvokasi isu anak sebaya dibawah naungan Save The Cildren dan diadopsi oleh forum anak desa. Berbekal keresahan, niat merubah keadaan-nasib teman-temannya, juga restu ibunya, Minha bertolak ke Denpasar, Bali untuk mengikuti pelatihan pendampingan isu perkawinan anak.
“Ilmu dapat dan jejaring dapat, saya harus melakukan sesuatu untuk desa ini. tapi saya tidak bisa sendiri. Harus ada teman lainnya untuk melakukan ini. Ya, ini demi kebaikan dan nasib anak-anak di sini,” katanya, mengenang awal perjuangannya. Minha menghela napas agak panjang.
Sempat Diremehkan dan Dikucilkan
Hari ke hari Minha menelusuri lingkungan sekitar dari satu rumah ke rumah lainnya mencari teman untuk sama-sama berjuang dan bergerak melakukan edukasi kepada teman-temannya yang lain. Perlahan, dengan rasa cemas, khawatir dikecam dan semangat untuk membuat perubahan di desainnya bercampur aduk, Minha memulai perjuangannya dengan mencoba melakukan pendekatan ke beberapa temannya.
Selama mengajak teman-temanya, Minha menghadapi banyak tantangan di awal-awal melakukan gerakan ini. “Saya sempat ditolak, dikucilkan oleh sebagian masyarakat dan teman. Khususnya oleh sebagian orang tua yang tetap bersikukuh menikahkan anaknya di bawah umur,…..” bicaranya terhenti. Matanya agak sembab dan menyisir beberapa sisi depan, kanan dan kiri sejauh mata memandang.
Minha sekali lagi menghela napas dan melanjutkan ceritanya. “,…..Dulu, waktu mengajak untuk perekrutan forum anak, ditolak oleh beberapa orang tua di sini. Mereka sampai ada yang bilang; buat apa ikut acara itu, memangnya dapat uang? Saya bilang, kalau uang mungkin tidak dapat. Tapi saya meyakinkan mereka anaknya yang ikut akan dapat ilmu. Bahkan, anak-anak yang saya konfirmasi ulang, tidak ikut dengan alasan bantu-bantu orang tuanya. Padahal, ya itu tadi. Mungkin karena mereka tidak diizinkan.”
Persis tiga hari perjalanan perjuangannya, Minha berhasil mengumpulkan sekitar 15 anak dan mengajaknya untuk dan terlibat dan membentuk forum anak. “Jadi selang beberapa hari berjuang mengumpulkan teman-teman, akhirnya, saya dengan didampingi Save The Children, melakukan edukasi meliputi reproduksi usia anak, mental, dampak psikologis, dan pendidikan anak,” ujar Minha.
Beberapa hari setelah itu forum anak terbentuk di aula Desa Jenggik Utara berkat dukungan pemerintah desa setempat dengan memfasilitasi pelaksanaannya. Sejak itu, rasa percaya diri Minha dan teman-temannya semakin tumbuh. Mereka pun mulai dilibatkan dan diberikan ruang bersuara dalam banyak kesempatan dan terus berupaya menyiarkan tujuan dan kegiatan forum itu ke lembaga pendidikan sekitar juga warga dengan media lisan dari waktu ke waktu.
Jumlah Anak Korban Perkawinan Anak dan dan Sederet Faktornya
Minha bilang, teman-temannya yang menikah waktu SMA lumayan banyak. Dari amatan di lapangan, mereka menikah di usia anak karena faktor ekonomi dan kurangnya pengasuhan orang tua.
“Saya tidak bisa menyebutkan data spesifik dan pasti jumlah teman-teman yang menikah di usia anak. Karena jumlahnya cukup banyak. Bulan lalu saja, ada 3 anak yang menikah. Dan sedihnya, kami prihatin karena tidak dapat kami selamatkan. Banyak pelaku kasus perkawinan anak yang tidak tersebar informasinya. Kami akan terus melakukan penelitian waktu ke waktu untuk memastikan informasi di lapangan. Tentu yang paling penting adalah, sebisa mungkin kami akan melakukan upaya penyelamatan jika memungkinkan,” urai Minha.
Edukasi terus dilakukan, Minha dan teman-temanya mencoba menelusuri rute perjalanan perkawinan yang sudah berlangsung sejak lama. “Kami menemukan banyak faktor yang mempengaruhi kasus ini bisa terjadi dari waktu ke waktu. Pertama, faktor ekonomi; berhenti sekolah dan memutuskan menikah karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Bahkan, ada beberapa orang tua dari anak yang menikahkan anaknya di bawah usia 20 tahun itu menganggap bahwa, dengan menikah, anak bisa lekas berpikir dewasa,” Minha mengurai temuannya.
“Bahkan, dalam penelusuran saya bersama teman-teman, di tahun 2021 saja ditemukan dalam 1 dusun ada 14 anak yang menikah saat masih berstatus siswa. Diantara beberapa kasus itu, anak yang dinikahkan ada yang berusia 15 sampai 17 tahunan,” katanya.
Sementara itu, batas usia seseorang bisa melakukan perkawinan adalah 19 tahun sesuai Undang-undang No. 16 tahun 2019. Aturan adalah hasil perubahan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa batas usia perkawinan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun
Tidak lama setelah menikah, ungkapanya, suami dari pasangan muda itu biasanya memilih merantau menjadi Pekerja Migran Indonesia atau PMI dengan tujuan untuk memperbaiki ekonomi keluarga kecilnya.
Selain itu, merantau untuk sekadar melunasi beban beban hutang biaya menikah yang tak jarang dilimpahkan kepada pasangan muda itu. Bahkan, untuk perempuan yang dicerai pun memilih jadi PMI untuk menghidupi anaknya. Sebab sejak menikah, orang tuanya sudah lepas tanggung jawab kepada mereka.
Di sisi lain, ada bahkan banyak yang ikut kursus di bidang yang mereka minati, seperti menjahit, komputer dan lainnya untuk mengisi kekosongan. Selain itu, banyak juga yang memilih untuk menjadi PMI.
“Masalah teman-teman anak dari PMI pastinya banyak mengeluh kurang perhatian dan kasih sayang, sering mendapatkan perundungan. Ironisnya, perundungan dianggap biasa dan dijadikan bahan bercandaan. Kasus yang cukup dibilang parah adalah, teman-teman anak PMI pernah mendapatkan kekerasan fisik, suka dibanding-bandingkan oleh orang tua asuh. Tidak hanya itu, mereka juga sering mengeluh merasa tertekan. Beberapa kejadian itu, bisa berdampak serius kepada mereka. Ujung-ujungnya, mereka ingin mendapatkan hidup relasi sosial lebih baik dengan cara jalan pintas yakni menikah meskipun usianya belum cukup.”
Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling di Universitas Hamzanwadi, Lombok Timur tersebut mengungkapkan, pendidikan di sana masih belum menjadi prioritas, khususnya untuk anak-anak.
“Pernah kami temukan di lapangan, ada orang tua menyarankan anaknya untuk mencari uang dengan bekerja ke luar negeri setelah selesai sekolah. Pola pikir itu, mungkin dipengaruhi anggapan bahwa hidup di desa kurang sejahtera secara ekonomi,”
“Teman yang kuliah ada. Tapi saya tidak punya data pasti jumlah jumlah teman-teman yang kuliah, tapi yang pasti juga ada. Hanya saja, dalam analisa saya, untuk satu dusun itu dapat dihitung, hanya ada beberapa beberapa orang saja. Mungkin di dalam satu dusun bisa 7-10 orang saja. Itupun sudah terbilang banyak.
Kedua, kemungkinan terjebak dalam pergaulan yang salah. Diantara banyak kasus yang didampingi, ditemukan ada anak yang dipaksa menikah karena sudah hamil di luar nikah. Kasus itu, pernah dibicarakan waktu saya mengikuti forum anak di Denpasar, Bali, awal 2022.
Kasus itu menjadi salah satu diantara banyak kasus pernikahan anak yang cukup berat dan membuat dilema; Dinikahkan usianya masih rentan. Kalau tidak dinikahkan, statusnya sudah hamil. Maka jalan terakhir adalah dengan dinikahkan demi menjaga nama baik keluarganya.
“Selain itu, ada cerita lain. Ada laki-laki yang ngapel ke Lombok Tengah, dan pulangnya langsung dinikahkan. Waktu itu, Si laki-laki tersebut menjadi salah satu panitia dalam sebuah kegiatan. Dan hari itu hari terakhir dan mendapatkan gaji. Dari situ, dia akhirnya akhirnya mengajak pacarnya keluar untuk jalan-jalan sampai sekitar pukul setengah 6 pagi. Si laki-laki tersebut mengantarkan si perempuan ke rumahnya saat itu juga. Setelah itu, si laki-laki pulang ke rumahnya sendiri, akan tetapi pihak keluarga (orang tua) si perempuan tidak terima dengan kejadian itu. Akhirnya, orang tua si perempuan mengantarkan anaknya ke rumah si laki-laki untuk memintanya untuk menikahi si perempuan,” bebernya.
Ketiga, anak-anak merasa kurang perhatian orang tua. Diantara beberapa teman sebayanya, khususnya yang laki-laki memilih menikah karena menganggap dengan menikah akan diurus dan diperhatikan oleh istrinya kelak.
Keempat, media sosial. Dia menduga, kurangnya pengawasan dari orangnya, saat anak bermain smartphone. Bisa saja, beragam tontonan yang berkaitan dengan orang dewasa justru ditonton pula. Seperti film yang mempertontonkan orang menikah seakan selalu hidup bahagia. Sehingga, anak-anak mengambil jalan pintas dengan menikah, meskipun belum waktunya.
“Kita tahu kan, kemarin sekolah menerapkan belajar online. Nah, dari sinilah sebagian dari mereka menyalahgunakan smartphonenya. Kami berharap, advokasi yang dilakukan waktu ke waktu ini bisa berdampak. Sehingga, dapat membantu anak-anak di Jenggik Utara untuk hidup lebih layak, dapat berpendidikan dan mengejar mencapai cita-citanya. Dan yang paling utama adalah, tidak menjadi korban pekerja anak dan perkawinan usia anak.”
Jenggik Utara merupakan satu-satunya desa yang ditetapkan sebagai Desa TKI- sekarang PMI- dari sekian banyak desa yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penyematan itu diresmikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) disaksikan Kementerian Tenaga Kerja pada 26 Mei 2014.
Sejak 2017, BNP2TKI diubah menjadi BP2MI atau Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan disusul Peraturan Presiden Nomor 90 tahun 2019 tentang Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Dari penelitian kami, sejauh ini, anak yang menjadi korban perkawinan anak usia anak di Desa Jenggik Utara diintervensi oleh adat. Namun lebih banyak oleh lingkungan mereka karena nyaris di setiap sudut yang mereka lihat ada saja pelaku pernikahan. Semisal ada yang menolak untuk dinikahkan, sebenarnya tidak ada konsekuensi yang pasti. Karena untuk urusan itu, di sini juga tidak tertulis dalam awik-awik atau peraturan desa,”
Minha mengaku, sebenarnya para tokoh agama di sini lebih banyak yang menolak dan menentang perkawinan anak. Bahkan, banyak dari mereka yang memberikan sebuah edukasi dari pemahaman mereka melalui banyak kesempatan. Baik secara langsung melalui tausiah keagamaan yang kerap diselipkan ajaran hadis dan alquran.
Bagaimana Minha Bisa Selamat Dari Perkawinan Anak?
“Sedari kecil, saya sudah hidup di dalam keluarga yang cukup disiplin dalam keagamaannya. Tidak terkecuali dengan pentingnya pendidikan. Keluarga saya selalu mengajarkan tentang batasan-batasan dalam berhubungan dengan antar lawan jenis. Sehingga timbul dari diri saya takut akan Tuhan. Selesai pendidikan dasar, orang tua saya memasukkan saya ke pondok pesantren,” ceritanya.
Di dalam pesantren, dia mendapatkan pendidikan perihal disiplin diri. Begitupun dengan prinsip berhubungan sosial dengan lawan jenis. “Sampai SMA, pun saya dimasukkan dalam pondok pesantren dan itu menjadi salah satu strategi orangtua saya untuk menyelamatkan saya dari pernikahan dini,”
“Pendidikan itu penting dan menjadi perempuan yang berpendidikan itu harus. Karena seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Perempuan, bila sudah berpendidikan tidak akan mudah direndahkan dalam sebuah pernikahan. Pendidikan pun menyelamatkan saya dari pernikahan dini,” pesan ibunya suatu saat, Minha menirukannya. Pesan itu terus menjadi bahan bakar semangat Minha untuk terus bergerak dan tidak berhenti untuk belajar, baik dalam pendidikan formal ataupun berkegiatan di luar lembaga pendidikan.
Minha bisa kuliah bukan karena ekonomi orang tua berada, tapi merasa didorong oleh kemauan untuk meningkatkan kualitas diri. Dulu, uang untuk mendaftar kuliahnya, orang tua Minha harus meminjam uang kepada tetangga. Selain itu, Minha juga mencari banyak informasi kampus yang bisa dijangkau, termasuk tentang beasiswa.
“Selagi ada kemauan InsyaAllah ada jalan asalkan sungguh-sungguh. InsyaAllah rezeki itu datang sendirinya atas izin Tuhan. Mendengar itu, saya yakinkan diri untuk kuliah walaupun ekonomi tidak ada. Teman-teman saya banyak yang berhenti sekolah sampai tingkat SMA dengan alasan ekonomi,” kata-kata ibunya itu ia jadikan kekuatan untuk melangkah ke pendidikan tinggi.
“Saya kan ngajar di beberapa sekolah, baik TK maupun SD. Kebetulan saya bukan sarjana. Nah, tahun 2008, ada tuntutan untuk kuliah karena guru harus S-1. Saya mikir, kalau saya kuliah, saya otomatis harus meninggalkan Minha di sini. Tapi saya memilih berhenti jadi guru karena tidak ingin meninggalkan Minha yang masih kecil,” Zuhriyati mulai membuka suara dan masuk ke dalam obrolan.
Sejak itu juga, dia memilih aktif mengadvokasi soal buruh migran dan bergabung di Advokasi Buruh Migran Indonesia atau ADBMI Lombok Timur. Satu-satunya organisasi buruh migran di Lombok timur. “Diantara beberapa rekan saya yang aktif sampai sekarang adalah Pak Parni dan Pak Fauzi. Dan saya satu-satunya perempuan dari sini yang aktif. Saat itu, saya ada di bidang paralegal. Tugasnya menangani kasus buruh migran,” ceritanya.
Dalam laman jaringanburuhmigran.org, Yayasan ADBMI atau ADBMI Foundation atau adalah lembaga masyarakat sipil non-profit pertama berbasis lokal di Lombok Timur yang concern pada isu buruh migran dan human trafficking dengan tipe gerakan berbasis hak serta kebutuhan korban. Didirikan dan dibentuk oleh individu-individu yang peduli, aktivis hak asasi manusia, mantan buruh migran, kalangan pondok pesantren dan korban buruh migran.
“ADBMI aktif bergerak sejak tahun 2000 dengan 3 desa dampingan. Tahun 2004 menambah desa dampingan menjadi 6 desa, dan terus bertambah beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi. Hingga sekarang telah melahirkan 24 Peraturan Desa (Perdes) Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya. Piloting, memfasilitasi dan mengorganisir pembentukan CBO (Community Base Organization) di 32 desa dari 254 desa di Kabupaten Lombok Timur,” jelas dalam laman tersebut.
ADBMI memiliki 82 orang paralegal terlatih yang setiap saat dapat membantu korban/keluarga buruh migran di lingkungan masing-masing untuk mengakses keadilan.
Suara Zuhriyati agak lirih saat bercerita tentang Minha yang sebenarnya juga salah satu diantara sekian anak yang ditinggal merantau oleh ayahnya. “Dulu, Minha ini sempat ditinggal oleh bapaknya. Dan akhirnya, saya bercerai. Jadi sebenarnya Minha ini korban dari Broken Home. Tapi syukurnya, tidak sampai menikah dini dan terus semangat sekolah. Ya, alhamdulillah sekarang Minha sudah jadi mahasiswa di kampus,” dengan tatapan yang dalam ia memutar kembali memorinya yang masih tersimpan rapi dalam album kehidupanya.
Sejak bergabung dengan ADMI, Zuriyati bersama rekan-rekannya terus mencoba melakukan penyadartahuan kepada ibu-ibu lainnya, agar tidak tergiur menjadi PMI. Tapi sayang, upaya itu tidak berjalan mulus. Sebab mereka menggap bahwa dengan menjadi PMI, dapat mengubah nasib dan kehidupannya lebih baik. Setidaknya, tempat yang menjadi pilihan untuk menjadi pekerja migran adalah negara di Timur Tengah dan Malaysia.
“Alasan mereka cukup kuat, ingin memperbaiki kehidupan. Dan mereka berharap, dengan mencari sumber kehidupan di luar negeri, anak-anaknya dapat hidup lebih baik,” katanya.
Perjuangannya untuk memberikan perubahan tidak hanya dilakukan di akar rumput. Zuhriyati pernah suatu kali di tahun 2008 mendatangi kantor dinas sosial lombok timur untuk melakukan advokasi berharap mendapat dukungan dalam menyelesaikan kasus yang sedang ditanganinya. Alih-alih dukungan, Zuhriyati justru disambut dengan nada-nada ancaman bahkan gertakan dan geplakan meja.
“Saya mendapat ancaman fisik dengan ditodong pukulan,” bicaranya sedikit pelan seperti orang berupaya lancar membaca sedang mengeja bacaannya. Ia melemparkan pandangannya ke sana kemari. Tak ada tanda-tanda air mata keluar dari kelopak matanya. Tapi tangannya sesekali menyeka matanya lalu diam.
“Bagaimana dengan kasus perkawinan anak di sini, Bu?” pertanyaan itu saya lontarkan setelah melihat sekian detik Zuhriyati diam.
Ia menghela napas panjang dan kembali berbicara. “Banyaknya orang tua yang merantau, membuat anak kurang kasih sayang. Dalam amatan saya, setidaknya ada tiga faktor perkawinan terus terjadi di sini. Pola asuh orang tua, media sosial, dan anak terlalu lama ngapel sama pacarnya sampai lewat pukul 10 malam, misalnya, juga menyebabkan mereka dinikahkan,”
Suatu hari beberapa tahun lalu, laki-laki asal Jenggik Utara dengan usia dibawah 18 tahun kedapatan ngapel sama pasangannya ke Lombok Tengah. Berhari-hari tidak pulang. Saat pulang, langsung dinikahkan oleh orangtuanya.
“Kami di sini ya bingung harus berbuat apa, jika melihat kejadian perkawinan anak persoalan anak lainnya. Tapi sekarang sudah mulai tenang untuk melakukan edukasi langsung. Selain didukung oleh Pemdes, kami merasa terbantu dengan pendampingan dari STC. Sehingga, kami pun terus mencoba berbagai cara untuk melakukan pendekatan,”
Sikap Pemerintah Desa
Siang itu, Suparni, Kepala Pelayanan Desa Jenggik Utara, Nasri, kepala Desa setempat, dan beberapa perangkatnya menyambut kedatangan saya dan rombongan.
“Perkawinan anak di sini memang disebabkan banyaknya warga setempat yang menjadi buruh migran dan meninggalkan anak-anaknya di rumah. Anak-anak merasa kurang perhatian, sehingga pilihanya adalah menikah untuk mendapat perhatian dari pasangannya,” ujar Suparni setelah sekian menit duduk dan perkenalan diantara kami.
Ia masih ingat betul data yang dihimpun Pemdes Jenggik Utara. Warganya yang menjadi buruh migran bukan hanya dari kalangan orang dewasa, tapi juga anak-anak. Hal itu terjadi sebelum lahirnya Peraturan Desa (Perdes) setempat No. 3 tahun 2010 tentang tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Jenggik Utara.
“Boleh dibilang, lahirnya Perdes itu karena dilatarbekangi oleh banyaknya kasus anak yang menjadi buruh migran dengan memalsukan datanya,” katanya.
Sejurus kemudian, Suparni memberberkan beberapa butir tujuan dibuat Pemdes itu. Pertama, mencegah penipuan oleh PL dan atau Pelaksana Penempaan TKI Swasta (PPTKIS). Kedua, mencegah perekrutan Calon TKI dibawah umur. Ketiga, mencegah perekrutan Calon TKI oleh Calo yang tidak bertanggungjawab.
Keempat, menjamin hak -hak ekonomi, hukum, sosial kemanusiaan, politik, budaya, keselamatan kerja dan keamanan. Kelima, menjamin pemberangkatan TKI asal Desa Jenggik Utara sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui prosedur yang benar. Kelima, melakukan pembinaan terhadap TKI.
Pemdes setempat juga melarang janda maupun duda anyar cerai belum 4 bulan bercerai untuk menjadi buruh migran. Baik itu cerai hidup atau mati. Apalagi perempuan, yang belum sampai masa iddah. Apalagi anak-anak, pihaknya tegas berupaya untuk melarangnya ketat. Bila perlu, keluarga harus memberikan rekomendasi tertulis dan diserahkan kepada pemerintah desa.
“Dari data kami tahun 2010, dari 2.022 kepala keluarga di desa kami, 99 persen menjadi buruh migran secara ilegal. Dugaan kami, mungkin biar cepat berangkat karena sudah terdesak secara ekonomi. Tapi di sisi lain, ditemukan bahwa semua berkas diuruskan langsung oleh tekong atau calo. Tapi sejak adanya Perdes, tahun ke tahun kasus menurun,” Suparni melanjutkan pembicaraannya.
Kasus seperti itu terjadi jauh sebelum pemekaran dari Desa Jenggik. Dia menduga, calon buruh migran menganggap calo dan tekong memberikan kemudahan dalam pengurusan berkasnya.
“Bisa jadi, warga yang berangkat dengan cara ilegal waktu itu karena terdesak ekonomi. Sementara pekerjaan di sini sangat sulit,” ujarnya.
Dalam sejarahnya, Desa Jenggik Utara merupakan pemekaran dari Desa Jenggik. Resmi memisahkan diri sejak pada tanggal 28 Juni 2004, berdasarkan Perda No.5 2004.
Nasri, Kepala Desa Jenggik Utara mengajak saya ke ruang kerjanya di lantai dua. Dia memulai obrolannya dengan rasa syukur desanya bisa dijadikan sebagai salah satu pilot project pemberangkatan buruh migran secara legal di Lombok Timur sejak 2014 silam. Namun disisi lain, dia menyayangkan masih ada permintaan rekomendasi dari warganya untuk pemberangkatan PMI sejak 2018 hingga 2022.
“Kami tetap berkomitmen untuk menerapkan aturan Perdes dan Pemerintah yang melarang anak di bawah umur untuk menjadi buruh migran. Makanya, kami Pemdes senang dengan adanya forum anak rintisan Minha dan teman-temannya. Setidaknya, forum itu dapat menjadi wadah belajar dan berekspresi bagi anak-anak di Jenggik utara ini,” katanya.
Sembari menggeser tumpukan kertas di samping komputer warna hitam, dia berkata, “Kami menyambut baik forum ini. Kami yakin, jika anak-anak merasa terwadahi, maka dua kasus; pekerja-buruh migran-anak dan perkawinan anak bisa ditekan,”
Dalam laman jaringanburuhmigran.org, dijelaskan hasil penelitian Advokasi Buruh Migran Indonesia penelitian tahun 2016 silam, yang menunjukkan beberapa faktor yang menjadi alasan bagi masyarakat Jenggik Utara untuk menjadi TKI. Pertama, dapat segera memiliki segala kebutuhan seperti sepeda motor, membangun rumah, dan kebutuhan lain yang sifatnya konsumtif. Kedua, minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan di desa. Ketiga, rendahnya kemampuan dalam mengelola keuangan. Keempat, rendahnya kemampuan dalam membaca peluang usaha.
Saat ini, Pemdes Jenggik Utara sudah memfasilitasi kegiatan forum anak tersebut. Salah satunya, dengan mengalokasikan anggaran desanya melalui APBDes. Dia mengapresiasi dan siap memfasilitasi. Hal itu lakukan sebagai bentuk kepedulian pemerintah desa terhadap hak anak di desa ini, termasuk hak bersuara dan berkegiatan.
“Kami lihat, mereka yang aktif di forum anak, nyatanya sudah tahu banyak hal persoalan isu anak, dan kami bangga dengan itu. Namun hal ini juga tak lepas dari pendampingan dari kawan-kawan Save The Children sejak tahun 2021.” Nasri mengakhiri obrolannya.
Muh. Zulfiqri Syahmat dan Siti Hidayatul Jumaah dari Prodi Administrasi Negara, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mataram melakukan Analisis Dampak Program “Desa TKI” Dalam Mengatasi Permasalahan TKI dengan studi kasus Desa Jenggik Utara pada tahun 2020.
Penelitian itu menunjukkan, Desa TKI berdampak signifikan terhadap; Pertama, bagi kelompok sasaran (TKI, Calon TKI, Purna TKI, dan Keluarga TKI) menunjukkan dampak yang signifikan dalam menyelesaikan masalah saat pra dan selama penempatan, sementara saat purna penempatan, dampak belum optimal.
“Kedua, bagi kelompok di luar sasaran juga memiliki dampak yang positif baik bagi masyarakat yang hendak berkeinginan untuk menjadi TKI, maupun bagi PPTKIS dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Ketiga, berdampak pada kondisi saat ini maupun kondisi yang akan datang. Meskipun ada beberapa perlu mendapatkan perhatian secara lebih maksimal,” tulis penelitian tersebut.
Saya mendatangi Ratna Yunita, Penasihat Program Tata Kelola Hak Anak Save The Children duduk di area ruang tunggu di dekat resepsionis salah satu hotel di tengah Kota Mataram, Minggu 28 Agustus 2022 pagi.
Sejak 2021, dia bersama rekan Save The Children fokus melakukan pendampingan, mengawal dan memastikan hak anak agar terpenuhi di Jenggik Utara fokus. Salah satu caranya yang ditempuh adalah dengan melalui jalur regulasi daerah maupun pemerintah pusat.
“Tentu kami senang melihat perubahan yang ada Jenggik Utara ini. Termasuk Anak-anak dampingan kami, seperti Minha dan teman-temannya berhasil melakukan gerakan perubahan dan berdampak. Salah satu wujud dari perubahan itu, ya adanya forum anak,” katanya.
Ratna merasa senang melihat dan mendengar keberhasilan Minha dan teman-temannya. Namun hal itu tidak membuat upayanya sudah selesai. Tentu masih ada tantangan lain, seperti sebagian orang tua di sana masih menggangap pernikahan dini sebagai bukan masalah. Butuh peran banyak pihak untuk bisa menekan kasus ini. Terutama, dari para tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan lainnya yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat setempat.
Dia tidak bisa menjamin STC bisa setiap saat dan selamanya akan mendampingi di sini. Ratna berharap, Minha dan teman-temannya serta Zuhriyati tidak patah semangat untuk menyuarakan hak anak di sana.
“Dan yang paling penting adalah, gerakan mereka mendapat dukungan dan berdampak luas. Sehingga, kasus demi kasus terus berkurang bahkan nol persen dalam waktu dekat,” ujar Ratna.
Perkawinan Anak Melanggar HAM
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan perkawinan anak merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak. Perkawinan anak juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak, dibutuhkan adanya pelibatan dari anak – anak, remaja, dan kaum muda itu sendiri. Untuk itu, saya mengapresiasi peluncuran Modul Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda,” ujarnya dalam acara Launching Publikasi Rumah Kitab: Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Remaja dan Kaum Muda’ Kamis, 10 Maret 2022 dikutip dari kemenpppa.go.id.
Dia bilang, praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas oleh banyak pihak. Karena telah menimbulkan dampak yang sangat masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan, dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi.
“Apalagi, saat ini kita pun masih menghadapi bencana non-alam wabah Covid-19. Studi Literatur UNFPA dan UNICEF juga menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana. Berdasarkan studi UNFPA pada 2020, terdapat potensi terjadinya sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini,” ujarnya.
Data Kemenppa 2018, katanya, menunjukkan 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun (sekitar 11 persen). Sementara hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun (hanya sekitar 1 persen). Sedang berdasarkan data BPS, meski secara nasional angka perkawinan anak turun (dari 11,21% pada 2018 menjadi 10,82% pada 2019 dan 10,35% pada 2020), namun terjadi kenaikan di 9 provinsi. Pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.
Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021, angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan dari 10,35 persen pada tahun 2020 menjadi 9,23 persen pada tahun 2021.
“Jadi ini adalah gambaran secara nasional namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah bagaimana kita memastikan kepada provinsi-provinsi yang masih cukup tinggi angka perkawinan anaknya untuk berupaya lebih keras lagi, lebih fokus lagi di dalam upaya pencegahan perkawinan anak,” katanya dalam Peluncuran Buku Saku Pencegahan Perkawinan Anak dan Program Generasi Emas Bebas Perkawinan Usia Anak, dikutip dari voaindonesia.com, Kamis 4 Agustus 2022.
Menurut Woro, perkawinan anak bisa dicegah melalui peningkatan pemahaman masyarakat terkait bahaya perkawinan anak dan penguatan kapasitas anak agar dapat bersikap tegas dalam menolak perkawinan. Selain itu, bisa dengan memperkuat pengawasan berbasis masyarakat dan penegakan hukum, khususnya terhadap pihak-pihak yang memaksakan perkawinan anak.
Data Perkawinan Anak Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan Data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kanwil Kemenag NTB) menunjukkan, terdapat 332 kasus perkawinan anak di NTB pada 2019. Rinciannya; Kota Mataram 6 kasus. Lombok Barat-Kabupaten Lombok Utara 69 kasus. Lombok Tengah 33 kasus. Lombok Timur 31 kasus. Taliwang 15 kasus. Sumbawa 77 kasus. Dompu 8 kasus. Bima 93 kasus.
Sedang pada 2020, perkawinan anak di NTB bertambah menjadi 805 kasus. Rinciannya; Kota Mataram 8 kasus. Lombok Barat-Kabupaten Lombok Utara 135 kasus. Lombok Tengah 148 kasus. Lombok Timur 43 kasus. Taliwang 16 kasus. Sumbawa 117 kasus. Dompu 128 kasus. Bima 235 kasus.
Hasil Penelitian; Menjadi Korban KDRT, Reproduksi Terganggu, Sampai Ancaman Kematian
Penelitian Lezi Yovita Sari, Desi Aulia Umami, Darmawansyah dari Universitas Dehasen Bengkulu tentang Dampak Pernikahan Dini Pada Kesehatan Reproduksi dan Mental Perempuan mengungkap faktor pernikahan dini di Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu 2020.
Menurut penelitian itu, penyebab pernikahan dini antara lain; hamil di luar nikah, seks pranikah, kemauan sendiri, ekonomi, teman sebaya dan budaya selarian yang berkembang di wilayah tersebut. Sedang dampak yang ditimbulkan; terjadinya Anemia, pinggul sempit, BBLR, Hipertensi, dan dampak lain yang ditimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan.
Shafa Yuandina Sekarayu dan Nunung Nurwati dari Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran menulis soal Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Kesehatan Reproduksi. Menurut penelitian mereka, Pernikahan dini bisa disebabkan oleh; Pertama, adat istiadat serta keyakinan secara turun temurun di suatu tempat dan itu berbaur pada anak atau remaja. Kedua, minimnya bimbingan dalam hal kesehatan reproduksi serta seluruh akibat lain.
Pernikahan di usia dini sangat mempengaruhi kepada banyak perihal mulai dari kesehatan ibu serta anak yang rawan tersendat, kematian ibu atau anak, terbentuknya penyakit seks yang beresiko. Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi perihal akibat terhadap kesehatan reproduksi.
“Pernikahan dengan usia yang belum tepat pada waktunya akan banyak menimbulkan masalah, baik masalah fisik ataupun masalah secara psikologis. Pernikahan dini pula hendak menimbulkan eskalasi jumlah kelahiran ataupun fertilitas penduduk di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah wajib lebih menerangkan peraturan hal pernikahan usia dini serta menetapkan sanksi- sanksi yang wajib diperoleh oleh masyarakat yang melaksanakannya,” tulis dalam penelitian tersebut.