Lombok, SuaraNet – Suara Syahidin lirih ketika menceritakan kabarnya beserta Jemaat Ahmadiyah yang saat ini menghuni Asrama Transito, saat dihubungi suaranet.id, 7 Januari 2024
Asrama ini berlokasi di Kelurahan Majeluk, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Sebagai koordinator Jemaat Ahmadiyah di sini, Syahidin bercerita bahwa bangunan yang dihuninya bersama para pengungsi Ahmadiyah, saat ini makin banyak mengalami kerusakan.
“Bangunan makin banyak kerusakan di sana sini. Genteng banyak bocor. Seolah kami dibiarkan dan tidak diperhatikan,” ujar Syahidin.
Asrama Transito adalah bangunan milik Pemerintah Provinsi NTB. Lokasinya hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari kantor gubernur.
Ada tiga bangunan memanjang dalam komplek. Temboknya dicat warna cream.
Ruangan di bagian dalam dibagi dengan triplek bak kamar kost. Ukurannya tiga kali tiga meter persegi tiap kamar.
Ada 13 kamar mandi dengan kondisi seadanya.
Menurutnya jemaat yang ada di Asrama Transito memang ada yang bekerja, seperti bertani dan berjualan. Hasilnya, disisihkan untuk ditabung untuk keperluan bertahan hidup, hingga pendidikan anak.
Beberapa di antaranya ada yang menabung untuk mencicil rumah.
Akibatnya Jemaat Ahmadiyah yang bertahan di Asrama Transito sudah berkurang.
Sejak 2022 lalu, setidaknya ada enam kepala keluarga yang memilih keluar Asrama Transito.
Mereka kembali ke lokasi tempat tinggalnya dulu di Perumahan Bank Tabungan Negara (BTN) Ketapang, Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
“Tapi mereka masih keluar masuk (Asrama) Transito,” ujar Syahidin singkat.
Syahidin menuturkan bahwa kondisi di Perumahan BTN Ketapang sudah jauh berbeda dibanding delapan belas tahun lalu saat ia dan Jemaat Ahmadiyah lainnya diusir dari tempat tinggalnya.
“Di BTN kan sekarang sama kayak di daerah lain di Indonesia. Enggak ngurus hidup orang. Jadi cukup aman,” terang Syahidin.
Jemaat Ahmadiyah yang tinggal di BTN Ketapang ini sebelumnya pernah mengalami persekusi di Lombok Timur pada tahun 2002.
Syahidin mengungkapkan, saat ini tersisa sekitar 25 KK yang masih tinggal di Asrama Transito. 15 KK di antaranya adalah keluarga muda dengan satu hingga dua anak.
Sementara untuk usia anak tersisa 40 anak. Syahidin bersyukur mereka mengenyam pendidikan dan tak ada yang putus sekolah.
Tahun Politik, Jemaat Ahmadiyah Dilirik
Beberapa bulan terakhir jelang Pemilu 2024, Syahidin mengatakan banyak calon anggota legislatif (caleg) yang datang ke Asrama Transito.
Mereka meminta dukungan dan berjanji akan usahakan Jemaat Ahmadiyah di Asrama Transito untuk segera mendapatkan hak-haknya, seperti kembali ke rumah dan hidup merdeka sebagaimana warga Indonesia pada umumnya.
Syahidin mengungkapkan caleg-caleg yang datang beragam, mulai caleg Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga DPR RI.
Mereka juga berasal dari beragam partai politik.
“Banyak caleg datang ke sini. Yang DPR kota, bilang mau perjuangkan nasib kami di daerah. Yang Provinsi, bilang perjuangkan kami di Provinsi. Yang RI, mau perjuangkan kami di RI,” kata Syahidin.
Namun Syahidin dan jemaat lainnya merasa biasa saja dengan janji para caleg itu.
“Kami anggap itu biasa saja karena model begitu dari dulu ya hanya umbar janji,” ungkap Syahidin.
Soal pilihan, katanya, pimpinan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak melakukan intervensi kepada jemaatnya. Bahkan, jemaat disarankan agar memilih sesuai hati nuraninya, baik pemilu legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden.
“Kami di sini ya, diimbau untuk terlibat dalam pemilihan ini dengan gunakan hak suara sebijak mungkin. Serta berdoa agar dapat wakil dan pemimpin yang membawa kebaikan,”
Menurut Syahidin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mataram sudah melakukan sosialisasi pemilu. Mereka mengalami proses yang sama, seperti pendataan daftar pemilih dan penempelan stiker coklit oleh Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) setempat.
Dia berharap tahun politik ini menjadi momentum untuk lebih memberi perhatian kepada nasib Jemaat Ahamdiyah. Mereka meminta diperlakukan yang sama seperti warga negara lainnya, diberikan hak yang sama, dan dijamin keamanannya.
Terkait pergantian kepemimpinan nasional, Syahidin mengatakan tidak peduli siapa pun yang menjadi presiden dan wakil presidennya nanti.
Dia hanya berharap, presiden dan wapres yang terpilih nanti peduli kepada minoritas dan memperlakukan Jemaat Ahmadiyah sebagaimana warga lainnya.
Tak seperti nasib mereka selama ini di mana meski sudah dua kali ganti presiden, dari zaman Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, nasib mereka tetap tidak jelas.
“Bahkan, Pak Jokowi sudah mau habis masanya, kami tetap mengungsi di tanah kami sendiri,” ujar Syahidin.
Ahmadiyah menjadi komoditas politik
Anwar, paralegal dan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengatakan persekusi Jemaat Ahmadiyah tak lepas dari aktivitas politik.
“Salah satu indikasi bahwa penyerangan terhadap Ahmadiyah itu bagian dari politik adalah persekusi kerap terjadi di momentum politik,” tegas alumnus IKIP Mataram itu, Agustus 2022 lalu.
“Persekusi tidak lepas dari politik. Terlebih, ketika masuk tahun politik. Ada yang alami persekusi dengan pola sendirinya. Persekusi tahun 2000, misalnya, Itu bagian dari konspirasi politik. Bahkan politik internasional,” tambah Anwar.
Sekretaris Pers JAI , Yendra Budiana punya sejumlah catatan tentang korelasi Ahmadiyah dan tahun politik.
Yendra menceritakan peristiwa penyerangan Ahmadiyah besar-besaran terjadi pada 2005, tak lama setelah pelaksanaan pemilu 2004.
Waktu itu, Gerakan Umat Islam Bersatu bersama sejumlah kelompok lain menutup kantor pusat Ahmadiyah di Bogor, Jawa Barat.
“Persekusi tak hanya terjadi di kantor pusat Ahmadiyah, namun juga berupa penutupan masjid, penghentian kegiatan dan sebagainya di sejumlah wilayah. Fenomena ini tak lepas dari kebijakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam,” ungkapnya, 22 November 2023.
Selain itu, Yendra mengungkapkan pada pemilu 2009, isu Ahmadiyah juga dipolitisasi. Waktu itu, banyak sekali politisi atau kelompok yang terafiliasi dengan parpol peserta pemilu menebar janji politik untuk membubarkan Ahmadiyah, menutup Masjid Ahmadiyah dan sebagainya.
“Itu pilpres 2009. Lalu ada peristiwa Cikeusik 2011, tiga orang Ahmadiyah terbunuh diserang kelompok masyarakat,” ungkapnya.
Jangan pilih kontestan pemilu yang anti keragaman
Andreas Harsono, peneliti untuk Human Right Watch mengatakan agar masyarakat tidak memilih kontestan pemilu yang intoleran dan menyebar kebencian.
Ia menambahkan seharusnya politikus di Lombok, baik calon DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, dan RI punya narasi dan memperjuangkan serta punya komitmen soal nasib Ahmadiyah di sana. Termasuk calon presiden dan calon wakil presiden. Karena warga Ahmadiyah berhak atas itu.
“Nasib warga Ahmadiyah harus diperjuangkan. Kontestan pemilu harus memasukkan isu minoritas ini dalam visi misinya dan memastikan realisasinya. Tapi ya itu, omongan saat kampanye biasanya hanya janji tinggal janji,” ungkap Andreas.
Andreas menambahkan saat ini tak ada calon presiden dan calon wakil presiden yang berencana mencabut aturan penodaan agama.
Bahkan belum ada presiden yang melakukannya. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mencoba lakukan itu. Namun zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rencana itu ditolak.
Andreas menambahkan, HRW sejauh ini sudah mendokumentasikan yang terjadi kepada Ahmadiyah.
Hasilnya dilaporkan ke Forum PBB di Jenewa dan New York. Menurut Andreas, PBB kaget mendengar dan melihat situasi ini.
“PBB meminta Indonesia agar beri izin delegasi PBB untuk melakukan Investigasi. Tapi, sampai saat ini, Pemerintah Indonesia menolaknya,” tutur Andreas.
Menurut Andreas, setidaknya ada dua faktor utama yang menyebabkan diskriminasi terhadap minoritas, termasuk kepada Ahmadiyah terjadi sampai saat ini.
Pertama, negara kalah kepada kelompok intoleran. Kedua, pejabat publik tidak berani menegakkan hukum.
Untuk Jemaat Ahmadiyah yang berada di Asrama Transito, Andreas menuturkan, sudah lama menanggung penderitaan akibat kehendak dan hasutan dari kelompok tertentu.
“Mereka yang di (Asrama) Transito sudah lebih dari sepuluh tahun kehilangan haknya. Apa orang Lombok tidak kasihan dan malu? Saudaranya sendiri tersandera seperti itu dan itu terjadi di Lombok,” kata Andreas.
Bahkan, kata Andreas, hak anak-anak Ahmadiyah terampas dan tersandera akibat kebencian dan tindakan intoleran segelintir orang dan organisasi tertentu.
Termasuk Maryam, anak Syahidin yang saat ini sudah duduk di kelas 2 SMA.
Saat diwawancara suaranet.id Agustus 2022 lalu, Maryam mengaku saat itu banyak mendapat banyak diskriminasi baik di sekolah maupun di lingkungan Asrama Transito.
Ia berharap punya satu kesempatan untuk bisa bertemu dengan Presiden dan menyampaikan satu pesan.
“Ayo, dong, Pak, wujudin Pancasila yang kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Kepada kami warga Ahmadiyah. Sebagaimana warga lainnya,” ucap Maryam sambil sesenggukan.
Dewi Sri Sumanah, Brand & Media Manager Save the Children Indonesia menyebut anak-anak Jemaat Ahmadiyah di Asrama Transito kerap kali mengalami stigma dan diskriminasi.
Pada 2021, Save the Children bersama Yayasan TIFA melakukan kajian pemetaan pelanggaran HAM selama pandemi, khususnya terhadap kelompok minoritas dan rentan.
Dewi mengungkapkan, studi ini menemukan bahwa anak-anak masih trauma dengan relokasi paksa dan kekerasan yang terjadi setelah mereka diusir dari desa asal mereka pada 2006.
Bahkan, katanya, anak-anak dan masyarakat yang hidup dalam kondisi miskin di penampungan dengan infrastruktur terbatas untuk sanitasi dan promiskuitas, meningkatkan risiko kekerasan seksual terhadap anak.
“Mereka juga menghadapi kesulitan bersosialisasi dengan teman sebaya dan masyarakat karena stigmatisasi yang mereka terima. Beberapa juga menyembunyikan identitas sebagai agama minoritas untuk memastikan anak-anak mereka bisa bersekolah tanpa didiskriminasi,” ujar Dewi.
Dia mendesak pemerintah Indonesia agar memastikan perlindungan dan penyediaan ruang aman bagi anak-anak dari kelompok minoritas untuk dapat berpartisipasi dan mengekspresikan kekhawatiran serta harapan mereka.
Selain itu, tegas Dewi, pemerintah harus melakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas penyelenggara dan aparatur pemerintah di desa dengan pendekatan afirmatif dalam kebijakan dan program desa bagi kelompok rentan dan terpinggirkan.
“Pemerintah perlu menyediakan saluran pengaduan dan pelaporan yang dapat diakses oleh masyarakat sampai ke tingkat paling bawah, termasuk memastikan informasi saluran pengaduan diketahui dan dipahami masyarakat, untuk memudahkan kelompok rentan dan marjinal untuk menyampaikan laporan pelanggaran HAM,” tandas Dewi.
Kelompok minoritas menjadi korban politik identitas
SETARA Institute menyatakan politik identitas diperkirakan masih akan muncul kembali. Politik identitas yang menyasar kelompok minoritas sebagai korban kerap digunakan untuk mendulang suara dari mayoritas.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan kelompok Ahmadiyah memiliki pengalaman panjang menjadi korban politik identitas.
“Ahmadiyah menjadi salah satu kelompok minoritas yang kerap menjadi korban politik identitas. Sederetan kasus persekusi terhadap Jemaat Ahmadiyah terjadi merentang dari awal dekade 2000-an hingga menjelang pemilu 2019,” ungkap Halili.
Dia menambahkan, politik identitas dalam tata kebhinekaan Indonesia seharusnya tidak dibaca dari sudut pandang dan ruang kosong yang seakan-akan politik identitas itu sesuatu yang netral.
Ia mengingatkan politisasi identitas terutama dalam bentuk politisasi agama itu berbahaya dan mengancam demokrasi dan keragaman Indonesia.
Halili yakin isu politik identitas akan kembali menjadi komoditas politik pada pemilu 2024.
“Politik identitas telah menjadi salah satu instrumen reguler dalam pemilu. Tidak hanya terjadi di DKI, namun daerah lain seperti pilkada di Jawa Barat, Sumatera dan lainnya juga lumayan masif. Kalau ditanya apakah masih akan berlangsung pemilu mendatang? Saya akan sangat yakin menyebut iya,” ujarnya, 22 November 2023.
Ada tiga hal, menurut Halili, yang membuat politik identitas ini masih sangat mungkin terjadi.
Pertama, basis masyarakat kita yang belum kuat. Kedua, kuatnya budaya patron-klien di Indonesia.
“Ada patron yang sering menggunakan sentimen kebencian kepada yang lain sebagai instrumen untuk mendapat keuntungan elektoral,” katanya.
Ketiga, belum adanya instrumen hukum yang kuat untuk mencegah praktek politik identitas.
“Masih lemahnya kesadaran bersama membangun perangkat hukum yang lebih memberikan efek jera bagi penegakan hukum atas pelanggaran politisasi identitas dalam hajatan elektoral kita,” ujarnya.
SETARA Institute mencatat sejak 2017 hingga 2022, selalu terjadi ratusan kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Pada 2017 ada 156 kasus, 2018 ada 160 kasus, 2019 ada 200 kasus, 2020 ada 180 kasus,
2021 ada 171 kasus dan 2022 ada 175 kasus.
Sementara dalam kurun 2017-2022, kasus gangguan tempat ibadah juga cenderung meningkat.
Pada 2017 ada 16 kasus, 2018 ada 20 kasus, 2019 ada 31 kasus, 2020 ada 24 kasus, 2021 ada 44 kasus dan 2022 ada 50 kasus. Pada 2022, gangguan ini terjadi pada dua puluh satu gereja, enam belas masjid, enam wihara, empat mushola, dua pura, dan satu tempat ibadah penghayat.
Jemaat Ahmadiyah punya hak politik yang sama
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Mataram, M Husni Abidin mengatakan KPU Mataram tetap melayani hak konstitusi Jemaat Ahmadiyah sebagai warga negara.
Mereka juga sudah terdaftar di DPT sebagai pemilih.
“Yang jelas, posisi kami sebagai penyelenggara pemilu, kami akan tetap lakukan tugas sebagaimana mestinya. Kami pastikan, Jemaat Ahmadiyah terpenuhi hak konstitusinya di pemilu ini,”
Husni menambahkan KPU Mataram tidak menyediakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus di Asrama Transito.
Jemaat Ahmadiyah dilayani seperti warga lainnya di sejumlah TPS di Kelurahan Majeluk karena mereka bisa keluar dari Asrama Transito untuk melakukan pencoblosan.
“Menurut data kami, ada sekitar 50 DPT di Transito yang sudah ber-KTP Mataram. Mereka tersebar di 3 TPS. Mereka tersebar di TPS 19, 20, dan 22,” terangnya.
Suaranet.id sudah berupaya menghubungi Penjabat Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi, untuk konfirmasi tentang isu yang ditulis ini pada Minggu (4/2/2024). Saat itu, ia hanya merespon salam dalam bentuk stiker. Kemudian pada Senin (12/2/2024) kembali dihubungi melalui telepon di aplikasi percakapan dan telepon seluler, tapi tetap tidak memberikan respon apapun.
Sabtu (3/2/2024), Suaranet juga berupaya menghubingi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi NTB, Prof. H. Saiful Muslim, untuk meminta tanggapan soal isu yang saya ditulis ini. Saat itu ia hanya membenarkan identitas dan statusnya.
“Benar,” responnya singkat.
Tak berhenti di situ. Pukul 11.16 WIB pada Senin (12/2/2024), Suaranet.id coba hubungi kembali melalui aplikasi percakapan untuk kesediaanya ditelpon. Saat itu ia sempat merespon. Namun ia bilang, sedang ada kegiatan.
“Saya sedang rapat di pendopo gubernur, belum selsai. Nanti kalo selesai bisa di HP lagi,” tuturnya.
Ia menambahkan, bisa dihubungi kembali selesai rapat. Pukul 12.51 WIB, coba dikonfirmasi ulang. Namun tidak ada respon.
Sekitar Satu jam kemudian, tepat pukul 14.13 WIB, Suaranet.id coba telepon seluler. Namun upaya konfirmasi ini tidak mendapat respon.
Sampai berita ini ditulis, tidak ada respon lanjutan dari PJ Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi maupun Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi NTB, Prof. H. Saiful Muslim.
*) Gafur Abdullah – Jurnalis lepas yang suka jalan-jalan dan tantangan dalam proses belajarnya.
Penulis : Gafur Abdullah