Surat Cinta Untuk Ibu
Assalamualaikum wr. wb
Dear ibu
Malam ini, izinkan aku menuskrib beberapa kata yang mungkin tidak seindah ukiran senyummu, namun biarlah ibu, biarkan anakmu ini berbicara, mengungkap sepenuhnya tentangmu dalam tulisan ini, karna mungkin hanya dengan tulisan anakmu yang penuh laknat ini berani mengungkapkan segala isi hati.
Tentangmu ibu, yang pengorbananmu seperti hirup embus nafas yang tak mampu ku bayar meski seisi dunia kupertaruhkan, sejak dalam kandungan hingga lahirku hidup dan matimu tak lain hanya tentangku, bahkan sebutir nasi yang hendak kau makan diurungkan karna kau ingat akan anakmu ini, kau simpan hingga aku terbangun dari tidurku lantas berkata “makanlah ibu sudah kenyang”, dan tanpa rasa bersalah aku memakannya tak ada rasanya terbesit dalam pikiranku tentang mu.
Malam ini, sembari kuingat ingat wajahmu yang mulai mengerut, ingin rasanya aku berlutut, memeluk dan menangis dihadapamu lantas berkata; aku mencintaimu ibu, sangat mencintaimu, maafkan aku anakmu ini yang belum mampu berdiri tegak seperti yang engkau inginkan, maafkan anakmu ini yang tanpa rasa bersalah menyakitimu ibu, maafkan aku yang selalu menyalahkanmu, membentakmu, bahkan membuatmu bersusah payah hanya untuk memenuhi keinginan keinginan recehku, maafkan aku karna sudah membuatmu menangis, khawatir kepadaku yang mungkin sedang berfoya foya.
dan ibu, terimakasih banyak, doamu tak pernah henti mengguyur tubuhku mengangkis diriku kala terjatuh, meski dengan berat hati kau tetap idzinkan aku berlayar menerjang amukan samudra lantas mengangkis diriku saat terluka. Hanya dirimu ibu rumah terbaik untukku….
Dariku, bebanmu yang tak pernah usai ibu,,
_wassalam_
10:10, Ahad 19 desember 2021
Puisi ini diikutsertakan dalam lomba surat cinta untuk ibu yang diselenggarakan oleh HIMMAH Pamekasan, dalam rangka memperingati hari ibu dan mendapat juara ketiga.
Prihal Tuai
Siang buram, ah sejatinya hanya manusia yg selalu mengeluh.
Tentang dusta hidup yg meluruh.
Nafas yg menyanggal
lantaran takdir menyongsong luka.
Kemarin aku bahagia
lantaran angin bersiul mesra.
Bu, aku rapuh nan pilu
Bu, pada kemana arah yang kau tujukan
lantaran nasibmu membuyar.
Duhai, selebihnya kita paham dan percaya
prihal takdir dan kuasa.
Biarkan saja angin menuntun luka
kala hujan dia akan menananah.
Ntahlah, kuharap ini bukan senja suram ku
sehabis kata.
Ada luka
Sungguh aku bukan hanya penuskrib luka
tapinya kian merangkulku.
Yang setiap saat harus bangkit lagi dan lagi.
Bahkan aku mampu membungkam pedih
sembari mengubur sesak yang kerap melintas dalam sunyi.
Kian rapuh kian rungkuh kian lagi aku harus mencari teduh.
Meski sangkaku tetap padamu
tapi sekali, bolehkah aku pamit.
Aku ingin kembali.