Pamekasan, SuaraNet—Sivitas Kotheka, komunitas paling aktif di Pamekasan merayakan dies natalis-nya yang ke-7 dengan pidato kebudayaan. Pidato kebudayaan ini memang telah menjadi hajatan rutin Sivitas Kotheka setiap hari jadinya. Tahun ini, pidato kebudayaan tersebut bertajuk “Tubuh Budaya Manusia Madura” yang disajikan Anwari, dramawan yang memiliki prestasi internasional. Digelar di Kafe Manifesco, Jalan Raya Jalmak pada Selasa (11/06) pukul 19.30 hingga 22.00 WIB, Sivitas Kotheka juga turut mengundang Abyan Farazdaq, musisi muda Madura untuk menampilkan karya-karyanya.
Saat menyampaikan prolog, penggawa Sivitas Kotheka, Fahrus Refendi, berkata bahwa bentuk tubuh manusia Madura dirancang dengan harmoni “rampa’ naong baringèn korong” yang berarti segala sesuatu harus merujuk pada hal-hal yang bersifat altruisme. Sebagai sebuah harmoni, rampa’ naong baringèn korong sudah maujud dalam aktivitas ajhung-rojhung (gotong-royong). “Kita sebagai generasi muda Madura harus bangga karena memeliki tèngka yang menjadi falsafah etis paling tinggi dalam hayat manusia Madura,” tukas pemuda hitam manis itu.
Sementara itu, sebelum tampil, Abyan menyatakan bahwa karya-karyanya diciptakan sejak nyantri dan bergabung dengan grup banjari. “Dari situlah aku dan teman-teman kerap merancang lagu, salah satunya berjudul “Ayashofia”,” daku pemuda 24 tahun yang menjabat Direktur Tabun Educultere Art tersebut. “Epidemi”, lagu Abyan yang lain konon lahir pada 2021 ketika wabah virus dan hoaks media sosial melanda Tanah Air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di acara inti, saat menyajikan pidato kebudayaan, Anwari mengungkap bahwa masyarakat Madura mempertahankan busana tradisional, terutama pada acara-acara tertentu. Hal ini dianggap sebagai bentuk kebanggaan orang Madura terhadap identitas budayanya. Selain itu, penggunaan bahasa Madura dalam komunikasi sehari-hari di perantauan juga menjadi bukti pelestarian budaya yang diterapkan masyarakat Madura.
“Di zaman modern ini, kehidupan manusia seringkali mengurangi aktivitas fisik mereka yang berdampak pada penurunan fungsi tubuh. Kita sering lupa bahwa tubuh kita adalah instrumen luar biasa yang mampu melakukan berbagai aktivitas dan memberi kita pengalaman melalui pancaindra. Faktanya, kita lebih memilih hidup di dunia digital sehingga interaksi fisik dan pengalaman sensorik kian berkurang,” tukas Anwari di sela-sela pidatonya.
Selain itu, pendiri Padepokan Seni Madura ini menjelaskan metode teaternya yang diberi nama “Reality of Body”. Bagi Anwari, metode ini bisa menjadi alternatif untuk mengatasi residu gaya hidup modern seperti yang telah dijelaskannya. Melalui latihan dan pertunjukan teater, seseorang diajak untuk kembali mengoptimalkan esensi tubuh yang senantiasa tumbuh, bergerak, dan berkembang. “Dengan demikian, kita dapat kembali merasakan dan menghargai keberadaan tubuh kita serta memanfaatkannya sebagai alat untuk berinteraksi dengan dunia sekitar,” ujar pria 32 tahun tersebut.
Perayaan ulang tahun yang berlangsung selama dua setengah jam tersebut dihadiri beberapa komunitas dan anak-anak muda Madura. “Kami, Sivitas Kotheka, mengucapkan terima kasih kepada Teman-Teman yang hadir. Di bulan Juni hingga September nanti, kami akan menyelenggarakan acara besar. Kami ingin Teman-Teman juga turut terlibat di acara ini,” pungkas Hana Hanisah, Koordinator Sivitas Kotheka setelah prosesi pemotongan tumpeng.
*) Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura.