Pamekasan, SuaraNet—Apakah benar kejametan selalu diasosiasikan pada Suku Madura? Demikianlah Warga Tabun mengangkat isu ‘jamet’ untuk membahas apa sebenarnya yang disebut jamet belakangan ini. Apakah benar jamet selalu identik dengan orang Madura, atau hanya stereotip belaka? Warga Tabun, sang inisiator acara, adalah kumpulan anak muda skena Warung Kopi Tabun di Desa Aeng Panas, Kabupaten Sumenep.
Acara tersebut dikemas dalam Forum Diskusi, kelanjutan Seri Diskusi Ramadan yang dilaksanakan pada bulan puasa lalu. “Forum diskusi kali ini akan mencoba menelusuri apa yang selama ini kita sebut jamet. Apakah benar jamet adalah ia yang berpotongan rambut mulet kombinasi mohawk, memakai kaos oversize, dan celana chinos skinny kuning kunyit? Atau ia yang mengendarai motor yang dipermak sedemikan warna-warni?” buka Abyan Farazdaq, Ketua Warga Tabun merangkap moderator di acara itu.
Digelar di Tabun Educulture Art, Jalan Raya Pragaan, pada Sabtu (25/05) pukul 19.30 hingga 22.00 WIB, majelis tersebut diberi tajuk “Genealogi Jamet”. Warga Tabun mengundang tiga pembicara, yaitu Royyan Julian (dosen cum penulis), Samsul Arifin (pelaku seni), dan Afnan Rahmaturrahman (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kautsar).
Afnan memaparkan bahwa fenomena jamet merupakan subkultur universal. Bahasannya lebih banyak menilik selera buruk jamet. “Jamet itu label untuk orang-orang yang seleranya buruk,” tegas pria 27 tahun tersebut. “Kita melihat selera buruk lebih dekat pada keterbelakangan. Buruk itu disematkan pada hal-hal yang merugikan. Contoh, sikap kejametan itu bisa dilihat dari gemarnya orang-orang Madura pada lagu-lagu berbahasa Madura yang nadanya dicuri dari lagu-lagu India.”
Sementara itu, Samsul melihat sisi positif jamet. Cowok gondrong ini optimis bahwa ‘seni’ jamet akan menjadi elemen baru dalam kesenian massa di Madura. Ia memang belum yakin asal-usul joget jamet dari mana. “Tapi, aku mengacungkan jempol atas keberanian mereka menyatakan diri sebagai bentuk kecintaannya pada Madura,” tukas pria yang berdomisili di Sampang tersebut.
Adapun Royyan, sesuai judul acaranya, menarik akar subkultur jamet sebagai budaya yang lahir dari ‘ideologi’ pragmatis orang Madura dan kebiasaan mereka merantau. Baginya, jamet-jamet yang viral hanya puncak gunung es dari dekadensi kebudayaan di Madura. Hal itu terjadi karena sebenarnya jamet yang definisinya ia perluas tersebut memiliki sifat-sifat yang merusak. “Ciri-ciri jamet itu konsumeris, hedon, dan suka show off hal-hal yang nirfaedah,” terangnya.
Acara yang berlangsung semarak dan penuh tanya-tanggap tersebut dihadiri anak-anak komunitas. Seorang aundiens berharap wacana jamet yang diangkat Warga Tabun di diskusi malam itu menjadi pintu perubahan untuk Madura yang lebih baik. “Kita sekarang tahu bahwa jamet enggak cuma perkara fesyen, tetapi mental,” pungkas Abyan mengakhiri diskusi.
*) Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura.