Menyelesaikan Dilema: Kehendak Agama vs Kehendak Orang Tua dalam Kasus Nikah Dini

- Publisher

Senin, 19 Februari 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Khairul Umam, Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri Madura

Khairul Umam, Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri Madura

SuaraNet – Nikah dini, sebuah fenomena yang kerap menimbulkan kontroversi di masyarakat. Di satu sisi, ada kehendak agama yang menekankan pentingnya menikah sejak dini untuk menjaga kesucian diri dan menghindari perbuatan zina.

Di sisi lain, ada kehendak orang tua yang mungkin lebih memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan dalam menentukan waktu yang tepat untuk menikah bagi anak-anak mereka.

Namun, dalam konteks hukum keluarga Islam, kedua kehendak ini seharusnya tidak bertentangan. Hukum Islam menekankan pentingnya memperhatikan kesiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum menikah. Oleh karena itu, seorang individu yang belum siap secara fisik, mental, atau ekonomi untuk menikah seharusnya tidak dipaksa untuk melakukannya, meskipun ada tekanan dari orang tua atau masyarakat.

Dalam hal ini, mahasiswa hukum keluarga Islam memiliki peran yang sangat penting. Mereka harus mampu memberikan pemahaman yang benar tentang hukum Islam kepada masyarakat, termasuk tentang nikah dini. Mereka juga harus mampu memberikan solusi yang bijak dan adil dalam menyelesaikan konflik antara kehendak agama dan kehendak orang tua dalam konteks nikah dini.

Baca Juga  Muhasabah, Ritual Sunyi di Penghujung Tahun 2023

Sebagai mahasiswa hukum keluarga Islam, kita harus memahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang adil dan bijaksana. Oleh karena itu, kita harus mampu memberikan solusi yang adil dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik antara kehendak agama dan kehendak orang tua dalam konteks nikah dini.

Dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa (4:19) disebutkan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghalangi harta-harta (anak-anak) perempuan kamu dari (mendapatkan) nikah, apabila kamu mengetahui bahwa mereka mempunyai kebaikan. Dan janganlah kamu mengawini mereka dengan (tujuan) memperoleh harta mereka dengan cara yang tidak patut, walaupun kamu menyukainya. Dan berilah mereka maskawinnya (dengan secukupnya), sebagai orang yang berkelakuan baik, maka jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu dengan lapang dada dan senang hati.”

Begitupun disebutkan dalam Hadis Riwayat Abu Hurairah (HR. Bukhari dan Muslim): “Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Baca Juga  Reformasi 1998 dalam Perspektif Idealistik

Dari beberapa perspektif ilmuwan Barat juga memberikan pandangan relevan dengan topik ini

Jean Piaget, Seorang psikolog Swiss yang terkenal dengan teori perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget, anak-anak pada usia dini masih dalam tahap operasi konkret, di mana mereka cenderung memahami dunia secara konkret dan tidak abstrak. Oleh karena itu, menurut Piaget, anak-anak pada usia dini mungkin belum siap secara kognitif untuk memahami konsep pernikahan dan tanggung jawab yang terkait dengannya.

Lawrence Kohlberg, Seorang psikolog yang terkenal dengan teori perkembangan moral. Menurut Kohlberg, pada usia dini, anak-anak masih dalam tahap prekonvensional, di mana mereka cenderung memahami moralitas berdasarkan hukuman dan imbalan. Oleh karena itu, menurut Kohlberg, anak-anak pada usia dini mungkin belum siap secara moral untuk menikah dan menghadapi tanggung jawab yang terkait dengannya.

Dari beberapa perspektif di atas, dapat dilihat bahwa anak-anak pada usia dini mungkin belum siap secara kognitif, psikososial, dan moral untuk menikah dan menghadapi tanggung jawab yang terkait dengannya. Oleh karena itu, dalam konteks nikah dini, kehendak agama dan kehendak orang tua seharusnya memperhatikan kesiapan individu secara holistik, termasuk kesiapan kognitif, psikososial, dan moral.

Baca Juga  Gelar PAB DKT 2024, Ketua UKM IQDA IAIN Madura Ajak 120 Anggota Baru Gali Seni Islami

Solusi yang sesuai dengan hukum keluarga Islam dan hukum peradilan dalam bangsa Indonesia adalah dengan memperhatikan kesiapan fisik, mental, dan ekonomi individu sebelum menikah. Jika seorang individu belum siap secara fisik, mental, atau ekonomi untuk menikah, maka seharusnya tidak dipaksa untuk melakukannya, meskipun ada tekanan dari orang tua atau masyarakat.

Dalam hal ini, hukum keluarga Islam dan hukum peradilan dalam bangsa Indonesia menekankan pentingnya memperhatikan kesejahteraan individu dan memastikan bahwa keputusan untuk menikah didasarkan pada kesiapan yang matang dan bukan karena tekanan dari pihak lain.

Penulis : Khairul Umam

Editor : Fahrur Rozi

Berita Terkait

Konflik Palestina: Ketika Dunia Diam, Rakyat Sipil Harus Bergerak
Drama Posko Pengaduan BSPS: Topeng Kepura-puraan DPRD Sumenep di Tengah Skandal Pokir
Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi
Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura
Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO
Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan
Menangkal Overclaim: Peran Edukasi dalam Meningkatkan Kecerdasan Konsumen

Berita Terkait

Rabu, 23 April 2025 - 04:23 WIB

Konflik Palestina: Ketika Dunia Diam, Rakyat Sipil Harus Bergerak

Senin, 13 Januari 2025 - 10:42 WIB

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi

Rabu, 8 Januari 2025 - 19:47 WIB

Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Minggu, 8 Desember 2024 - 12:30 WIB

Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura

Kamis, 5 Desember 2024 - 12:36 WIB

Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO

Berita Terbaru