SuaraNet – Teruntuk para orang tua yang selalu semena-mena kepada anaknya soal jodoh menjodohkan terutama jika anak masih duduk dibangku pelajar atau akan menjadi seorang mahasiswa, sepertinya perlu kembali lagi dipertimbangkan untuk bertanya kepada diri sendiri dan kepada anaknya soal kesiapan mental dan emosinya sebab pernikahan yang menyatukan dua insan, merekalah yang akan berperan aktif mengelola sistem dalam rumah tangganya tanpa pari purna.
Mengelola pernikahan tidak sama dengan mengelola keluarga, mengelola keluarga pun berbeda dengan mengelola organisasi sekolah dan kampus serta masyarakat dan mengatur masyarakat tidak sama dengan mengurus sebuah negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Membina rumah tangga adalah sistem sosial terkecil namun long lasting dari jabatan lain. Dan sistem dalam rumah tangga tidak seperti sebuah mesin, yang selalu siap dengan onderdil cadangan. Mesin bekerja tidak pernah melibatkan perasaan. Namun sistem dalam keluarga akan selalu melibatkan emosi.
Untuk itu, perlu kesiapan lahir batin dalam membina rumah tangga bukan membiarkan waktu yang akan mendewasakan anak seiring akan menjadi orang tua. Terlebih jika anaknya mampu dalam bidang akademik dan orang tua mampu secara finansial, lalu apa yang membuat orang tua terlalu buru-buru, toh stock jodoh tidak akan limited edition karena sudah Allah yang mengatur!
Pernikahan yang Terpaksa dan Memaksa
Meski saat ini manusia hidup di era disrupsi tapi perjodohan di beberapa desa tidak sepenuhnya berubah. Masih dengan pola kolot. Pernikahan yang terpaksa dijalani karena orang tua memaksa dengan dalih pilihan orang tua terbaik tanpa memikirkan bahwa sebenarnya batin anak tertekan.
Perilaku orang tua termasuk generasi milineal melahirkan anak generasi Z sebenarnya adalah tindakan meracuni jiwa anak. Istilah bekennya disebut sebagai pedagogi beracun.
Alice Miller, dalam bukunya For Your Own Good menyebutkan bahwa pedagogi beracun adalah pola asuh dan pendidikan diberikan dengan cara mengekang kehendak anak dan memposisikan anak sebagai subjek yang patuh dengan cara melakukan pemaksaan secara langsung atau sama-samar, manipulasi, dan menyakiti perasaan.
Jika dari kecil hingga remaja atau dewasa, orang tua membebaskan anak untuk memilih baju paling bagus untuk dipakai, sepatu yang keren untuk dibeli, membeli mainan yang disukai, dan bersekolah di lembaga impian lalu kenapa untuk pasangan hidup, tidak diberi kebebasan juga? Bukankah pasangan ini akan lebih lama dipakai? Bukanlah memilih pasangan hidup untuk dunia akhirat tidak bisa gonta-ganti seperti baju lusuh langsung dibuang?
Berikut contoh 2 Kasus tentang pemaksaan orang tua terhadap anak
Contoh studi kasus pertama
Seorang mahasiswi tingkat akhir yang tak kunjung bertunangan diresahkan oleh orang tua perempuannya sedangkan keponakan perempuannya yang satu atap dengannya baru menginjak kelas X SMA sudah ada yang melamar. Orang Tua dari mahasiswi ini, semakin tak tenang takut anaknya diguna-guna karena menurut tetangga dan orang-orang di desa tersebut, sudah cukup jambul tapi belum ada yang meminang.
Padahal di lingkungan kampusnya banyak yang menyukai dia. Hanya saja karena belum ada ketertarikan untuk menjalin hubungan yang serius dengan lawan jenisnya dan tak ingin menyakiti hati lelaki manapun, dia tak kunjung menautkan hatinya kepada orang lain. Sedangkan di sisi lain, orang tua dari anak ini bahkan memercayai orang pintar untuk segera mendatangkan jodoh bagi putrinya dengan mandi ritual yang akhirnya suatu hari kemudian ketahuan bahwa orang pintar ini dikenal penipu ulung dari banyak kasus.
Singkat cerita akhirnya, mahasiswi ini bertunangan atas perjodohan keluarga bahkan menikah meski awalnya menolak karena lelaki itu bukan pilihan hatinya tetapi karena permintaan taat dan patuh kepada orang tua, akhirnya mahasiswi ini ikhlas menerima keputusan orangtuanya.
Contoh studi kasus kedua
Seorang siswi yang bertunangan sejak MTs dan akan dinikahkan saat kelas 2 Aliyah oleh kakek-neneknya namun karena kasian orangtuanya meminta kepada besannya untuk menikah setelah lulus Aliyah saja dan anaknya tidak dihiraukan meski ingin lanjut kuliah dan meraih cita-citanya bahkan meski anak ini akan mengancam akan bunuh diri jika tidak didengar suara dan harapannya untuk masa depannya sendiri yang ingin menjadi seorang guru LSB atau bidan dengan alasan, besannya sudah akan menjamin kehidupannya tidak akan kekurangan karena sudah disiapkan toko untuk dikelola dengan calon suaminya yang saat ini saja masih semester IV dan kurang semangat dalam belajar.
Dari cerita ini, orang tua tidak sadar bahwa perbuatannya melukai jiwa anaknya bahkan membangunkan pondasi keluarga yang rapuh. Dan lagi-lagi si anak yang akan menanggung bagaimana peliknya kehidupan berumah tangga . Akankah anak ini bisa mempertahankan rumah tangganya terlebih setelah punya anak atau malah menghancurkan sistem menjadi disfungsi atau membuat luka baru untuk sistem yang baru kelak?
Meluruskan makna cinta pada anak
Sudah klasik didengar bahwa orang tua tidak mungkin menjerumuskan anaknya ke jurang atau orang tua dimanapun pasti ingin yang terbaik untuk anaknya karena orang tua mencintai anaknya lebih dari apapun. Kata-kata ini terlontar biasanya ketika anak sudah mulai memperdebatkannya, mempertahankan keinginan sendiri yang tak sejalan dengan orang tua. Sehingga apapun keputusan orang tua pasti akan selalu benar menurut orang tua, dan keputusannya berhak dihormati karena mereka adalah orang tuanya.
Lebih lanjut, ketika anak semakin memberontak maka orang tua biasanya akan melemparkan kata-kata sakti yaitu pelabelan bahwa jika anak tidak nurut, akan menjadi anak yang durhaka. Orang tua akan meminta balasan dari air susu yang selama ini diberi ketika bayi, rasa lelah saat merawatnya dari bayi hingga dewasa, dan saat kini sudah cantik, sehat, dan pintar malah melawan orang tuanya.
Kalau sudah begini, anak pasti kikuk karena merasa memang belum bisa memberikan jasa apapun apalagi kebahagiaan. Dhuha Hadiyansyah menuliskan dalam bukunya yang berjudul Parent-Things Yang Terlewat Dari Parenting menuliskan bahwa orang tua yang benar-benar mencintai anaknya tidak akan mengukur dan mengungkit dari seberapa banyak yang sudah orang tua berikan.
Cinta yang sebenarnya cinta memiliki dua prinsip yaitu diberi dan mengalir seperti hulu ke hilir. Cinta yang tulus dapat dinilai secara objektif. Bukan mengklaim sepihak telah mencintai padahal anaknya tidak merasa dicintai sama sekali kecuali hanya manut karena takut murka.
Untuk itu, mari libatkan anak dalam hal apapun. Ia berhak didengar suaranya dan dihargai perasaannya. Lalu coba tanyakan tindakan ini ke dalam hati paling dalam, apakah orang tua yang mengaku sayang kepada anaknya yang tak kunjung datang jodohnya lalu sibuk menjodohkan anaknya benar-benar untuk kebahagiaan sang anak atau hanya ingin menumpang bahagia karena besannya begini, begitu? Atau jangan-jangan menjodohkan anak untuk segera menikah ini hanya untuk mempertahankan prestise sosial, budaya, dan agama di masyarakat?
*) Rofiatur Rofiah – adalah kreator digital yang memiliki minat tentang parenting
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi SuaraNet.id