SuaraNet – Membongkar Klise Gender: Tugas Perempuan dalam Menghadapi Paradigma Buruk
Pertama-tama, perempuan memiliki tugas mendesak untuk membongkar klise gender yang telah lama menciptakan paradigma buruk. Ini melibatkan pengenalan dan penolakan terhadap ekspektasi-ekspektasi yang melekat pada perempuan, seperti peran rumah tangga yang konvensional atau harapan untuk tampil sempurna dalam segala situasi. Melibas klise ini memerlukan keberanian untuk menyuarakan keberagaman perempuan dan menolak menjadi terikat oleh norma-norma yang usang.
Pendapat ilmuwan seperti Judith Butler dan Kate Manne memberikan wawasan kritis tentang bagaimana klise gender terbentuk dan memengaruhi pandangan masyarakat. Dalam “Gender Trouble”, Butler menyoroti karakter performativitas gender yang menciptakan paradigma buruk. Kate Manne, melalui karya-karyanya, membahas bagaimana stereotip gender dapat menjadi instrumen untuk penindasan, khususnya melalui konsep “misogynoir”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gerakan Feminis sebagai Daya Pendorong Perubahan
Gerakan feminis menjadi kekuatan pendorong utama dalam tugas melawan klise gender. Perempuan perlu terlibat aktif dalam gerakan ini, mendukung dan mempromosikan pesan kesetaraan, serta menginspirasi perubahan dalam sikap masyarakat. Melalui kolaborasi dan aksi bersama, perempuan dapat menggugah kesadaran dan mengatasi resistensi terhadap pembaruan dalam pola pikir yang tercipta oleh klise gender.
Pemikiran filosofis Simone de Beauvoir dan analisis bell hooks memberikan dasar teoritis untuk peran gerakan feminis sebagai katalisator perubahan. Beauvoir dalam “The Second Sex” menguraikan dasar-dasar pemikiran feminis dan pentingnya kebebasan bagi perempuan. Sementara itu, bell hooks memberikan pandangan kritis tentang gerakan feminis, menyoroti pentingnya memahami peran stereotip gender dalam penindasan.
Menciptakan Ruang Bagi Kebebasan Berkarya
Tantangan selanjutnya adalah menciptakan ruang bagi kebebasan berkreasi dan berkontribusi tanpa dibatasi oleh klise gender. Perempuan dapat aktif terlibat dalam industri, seni, dan inovasi, meruntuhkan batasan yang menghalangi kemajuan. Ini mencakup penolakan terhadap norma-norma yang membatasi pemilihan karier, memperjuangkan hak untuk terlibat dalam ranah yang dianggap “tidak sesuai” untuk perempuan, dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan tanpa batasan gender.
Sheryl Sandberg dan Chimamanda Ngozi Adichie membawa dimensi praktis dalam menciptakan ruang bagi kebebasan berkarya. Sandberg, melalui “Lean In”, menggambarkan tantangan dan peluang perempuan di tempat kerja serta kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan tanpa batasan gender. Adichie, melalui “We Should All Be Feminists”, memberikan pandangan tentang kebebasan berekspresi dan keberanian perempuan dalam menghadapi norma-norma konvensional.
Keterbukaan Pikiran Sebagai Kunci Keseluruhan
Keterbukaan pikiran menjadi kunci utama dalam mengatasi tugas-tugas ini. Perempuan perlu tidak hanya menerima perbedaan, tetapi juga merayakannya sebagai kekuatan. Ini melibatkan pembentukan persepsi masyarakat terhadap perempuan, menginspirasi generasi muda untuk mengejar impian mereka tanpa takut terjebak dalam ekspektasi yang tidak relevan.
Pemikiran psikolog Carol Dweck dan aktivis Angela Davis memberikan landasan untuk memahami pentingnya keterbukaan pikiran dalam menghadapi stereotip dan mencapai kesetaraan. Dweck, melalui konsep “mindset”, mengajak untuk merangkul keterbukaan pikiran dalam menghadapi tantangan. Davis, melalui karya-karyanya, menyerukan masyarakat yang terbuka terhadap perubahan dan menghargai keberagaman.
Melalui perlawanan terhadap klise gender, dukungan terhadap gerakan feminis, dan keterbukaan pikiran, perempuan bukan hanya menjadi agen perubahan, tetapi juga arsitek masa depan yang merdeka.
Tugas ini bukan hanya tanggung jawab perempuan sendiri, tetapi merupakan panggilan kepada seluruh masyarakat untuk mendukung perubahan positif dan menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi semua.
*) Maftahatul Khair – Mahasiswa Prodi Teknik Informatika, Universitas Islam Madura
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi SuaraNet.id
Penulis : Miftahatul Khair
Editor : Fahrur Rozi