SuaraNet– Di tengah dunia yang terus bergerak cepat dan tak kenal henti, mental health menjadi isu yang kian relevan, terutama bagi generasi muda seperti Gen Z. Mereka adalah generasi yang lahir di era digital, di mana produktivitas kerap disamakan dengan nilai diri. Namun, di balik segala akses kemudahan teknologi dan kebebasan berekspresi, tekanan hidup justru semakin berat. Salah satu penyebab utamanya adalah hustle culture.
Hustle culture, yang mendorong kita untuk terus bekerja keras tanpa henti demi kesuksesan, seringkali dielu-elukan sebagai filosofi hidup ideal. Media sosial dipenuhi oleh narasi grind, no days off, dan glorifikasi lembur. Sayangnya, budaya ini mengabaikan sisi manusiawi kita—kebutuhan untuk istirahat, refleksi, dan keseimbangan.
Bagi sebagian orang, hustle culture menjadi motivasi untuk meraih mimpi besar. Namun, bagi banyak lainnya, ia menjadi jebakan yang menciptakan rasa bersalah ketika tidak “produktif”. Akibatnya, burnout, kecemasan, dan depresi menjadi fenomena yang semakin meluas di kalangan Gen Z.
Gen Z adalah generasi yang tumbuh dalam ketidakpastian. Pandemi global, perubahan iklim, krisis ekonomi, dan tekanan sosial adalah beberapa hal yang membayangi perjalanan mereka. Kombinasi faktor eksternal ini, ditambah ekspektasi pribadi yang tinggi, menjadi resep sempurna untuk stres kronis.
Ditambah lagi, media sosial memperburuk situasi. Algoritma terus-menerus menampilkan kesuksesan orang lain, menciptakan ilusi bahwa semua orang “lebih maju” dari kita. FOMO (fear of missing out) menjadi racun yang mengikis kebahagiaan diri.
Namun, tidak adil jika hanya melihat Gen Z sebagai korban. Justru, mereka adalah generasi yang mulai mendobrak stigma tentang kesehatan mental. Ada beberapa cara mereka bertahan:
- Membuka Dialog Tentang Mental Health
Gen Z tidak segan berbicara tentang kesehatan mental, baik melalui media sosial, komunitas, maupun terapi profesional. Langkah ini penting untuk mendekonstruksi tabu yang selama ini melingkupi isu ini. - Melawan Narasi Hustle Culture
Istilah seperti “quiet quitting” menjadi salah satu bentuk perlawanan Gen Z terhadap ekses hustle culture. Mereka mulai memahami bahwa produktivitas tidak harus mengorbankan kesehatan mental. Work-life balance adalah tujuan, bukan kelemahan. - Menciptakan Ruang Aman
Generasi ini menciptakan ruang-ruang aman di mana mereka dapat saling mendukung, baik secara online maupun offline. Platform seperti TikTok dan Twitter sering menjadi wadah berbagi pengalaman dan tips mengelola tekanan hidup. - Prioritizing Self-Care
Self-care kini bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan. Dari meditasi, olahraga, hingga sekadar mengambil waktu untuk beristirahat, Gen Z mulai memprioritaskan diri mereka sendiri.
Gen Z adalah generasi yang terus beradaptasi di tengah tantangan zaman. Mereka mengajarkan kita bahwa bertahan bukan tentang selalu bekerja lebih keras, tetapi juga tentang bekerja lebih cerdas dan peduli pada diri sendiri.
Mungkin, dari mereka kita bisa belajar bahwa kesuksesan sejati tidak hanya terukur dari pencapaian materi, tetapi juga dari seberapa baik kita menjaga kesehatan mental kita di sepanjang perjalanan hidup. Karena pada akhirnya, apa artinya sukses jika kita kehilangan diri kita sendiri di tengah jalan?
| Zainul Arief, S.Pd Mantan Mahasiswa IAI AL-KHAIRAT Pamekasan | Selebihnya Tulisan ini tidak menjadi tanggung jawab Redaksi SuaraNet.id
Penulis : Zainul Arief
Editor : Anam Khair