“Dunia itu seluas langkah kaki, Jelajahilah dan jangan takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya” Kalimat tersebut sudah tidak asing kita baca di beragam media, ia disampaikan oleh sosok anak muda keturunan Tionghoa-Indonesia yang lahir pada ketegangan perang dunia II, tepat pada tanggal 17 Desember 1942 lalu.
Sosok intelektual muda yang menjadi dalang dibalik gerakan mahasiswa pada tahun 1966. Ia mengawali ketajaman berpikirnya dengan melahap ratusan buku sejak masih kecil. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan tumbuh dengan penuh kegembiraan, kecintaan dan kesenangan bukan sebaliknya berharap nilai tinggi atau tekanan kurikulum dan keluarga.
Pemuda yang mengawali sekolah pertamanya di Sin Hwa School itu menghabiskan masa remaja dengan cara yang berbeda dari teman sebayanya. Di saat yang lain sibuk scroll tiktok melihat Fajar sadboy nangis, model rambut Dilan cepmek atau sekedar duduk di pinggiran kota dengan pamer motor. Gie justru melahap sejarah, dongeng sastra klasik, filsafat, biografi tokoh dunia dan yang lainnya. Saya tidak tau misal Gie hidup di era seperti sekarang apakah dia juga suka nonton cewek-cewek joget pargoy di tiktok atau reel Instagram.
Gie Pria dengan hoby naik gunung itu memang tidak lekang oleh waktu ia abadi dan tak pernah mengalami nasib sial dengan menjadi tua. Persis seperti kalimat yang ia tulis “Nasib terbaik tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah berumur tua”. Kita tidak menyebut tua untuk seorang laki-laki yang masih berumur 27 tahun.
Buah dari konsumsi bacaan yang menggunung itu menjadikan Gie sebagai sosok yang kritis, berani dan tak tajam dalam menyampaikan pemikirannya. Anak muda yang membaca peradaban dunia dari masa ke masa itu cenderung melancarkan kritik kepada pemerintahan Soekarno yang dianggapnya mengarah pada totalitarianisme.
Meski tidak pernah tergabung secara resmi dalam organisasi mahasiswa ekstra seperti kebanyakan aktivis sekarang, ia adalah sosok yang cakap dalam menyampaikan aspirasinya, pandai berorasi dan tentu paham terhadap apa yang dia perjuangkan he is know what his talk. Tanpa rambut gondrong dan dan tampang preman Gie adalah sosok intelektual muda yang tangguh. Ia layak disebut aktivis.
Kerap kali buah pikir kritisnya juga terpampang di berbagai media, Ia menulis dengan kritik tajam dan membuat penguasa geram. Jangan bayangkan Gie seperti sosok teman-teman kita yang mengaku aktivis hanya bermodal jadi ketua di salah satu organisasi intra atau ekstra tetapi otak kosong, perut lapar, gengsi bekerja kasar tapi maksa terlihat superior. Jangan! Gie jauh dari citra dan ekspektasi semacam itu.
Sikap kritis Gie tidak selalu disepakati teman-temannya, saat itu gerakan mahasiswa terpecah menjadi dua poros, yang pertama poros pendukung pemerintah yang kedua yang selalu mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan publik. Gie ada di golongan kedua.
Maka wajar sejak kebangkitan Reformasi hingga kini Gie tidak pernah memudar, gagasan demokrasi kala itu terus dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Perjuangan aktivis 98 juga tidak pernah lepas dari semangat muda sosok yang meninggal pada H-1 di hari ulang tahunnya. 16 Desember 1969.
Anak muda yang sering ditolak calon mertua karena dinilai terlalu berbahaya itu harus menghembuskan nafas terakhir di puncak gunung tertinggi di pulau Jawa. Mahameru. Yang lebih mengenaskan Gie harus mati dalam keadaan jomblo. Hiks.
Kita akan selalu mengenang Gie sebagai anak muda yang kritis, cerdas, dan berani menyuarakan yang benar. Seperti pesannya “Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”. Gie Abadi.
Pamekasan 02 Januari 2022
*) Penulis adalah Anam khair –Mahasiswa, suka membaca buku pdf, kopi dan diskusi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi suaranet.id