Aku Bukannya Tak Mau Menikah

- Publisher

Jumat, 20 September 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hana Hanisah.

Hana Hanisah.

Sementara isu pernikahan remaja kerap menyesakkan telinga, aku satu-satunya generasi micin di keluargaku yang tegas memutuskan takdirku sendiri. Mereka tak segan menyebutku pembangkang.

Pernikahan tentu saja bukan sesuatu yang menyimpang. Setiap orang berhak mengarunginya jika sudah dibekali kesiapan mental dan finansial yang matang. Justru kita akan dianggap cacat bila belum menikah di usia agak larut. Hal ini dianggap ngeri sebagian orang yang tinggal di lingkungan toksik. Aku selalu selalu dikhawatirkan jadi perawan tua mati rasa di acara-acara keluarga.

Aku punya beberapa sepupu cantik dan tampan. Hampir semuanya sudah menikah dan memiliki anak. Mereka masih seusiaku. Bahkan, beberapa di antaranya jauh di bawahku. Aku tidak menyesal punya sanak famili yang ‘baik’ seperti mereka. Aku juga tidak keberatan jika harus menjadi konselor mereka ketika rumah tangganya digerogoti masalah. Hampir setiap hari aku disuguhi drama kebahagiaan atau kegetiran rumah tangga orang lain. Dan sungguh aku menikmati dengan khidmat pertunjukan-pertunjukan sederhana itu.

Sepupuku, sebut saja Bunga, menikah di usia yang mau menginjak 21. Aku syok mendengar pernikahan itu berlangsung tanpa persetujuannya. Berbagai penolakan sudah ia kerahkan. Bahkan, ia mengamuk, mengancam, hingga memecahkan kaca lemari dengan tangan kosong. Sebetulnya, lelaki yang akan menikahinya merupakan orang yang ia pilih sendiri. Tapi, dengan alasan belum siap, ia berusaha menunda hingga waktu yang ditentukan. Dengan penuh drama, aku turut memberi pengertian kepada keluarganya. Sayang, segala jenis pemberontakan sia-sia. Pernikahan itu berlangsung kacau karena Bunga sendiri.

Baca Juga  Rayakan Dies Natalis ke-7, Sivitas Kotheka Hadirkan Dua Seniman Muda Sumenep

Seandainya membina rumah tangga semulus ubin masjid dan atas kehendak sendiri, aku juga bakal menikah dengan orang yang memenangkanku. Persoalannya, selain harmonis, berbagai masalah sebaliknya juga sering hadir dalam sebuah rumah tangga. Itulah kenapa aku memilih meniti jalan bebeda dengan mereka. Bunga senang ketika dengan penuh empati aku memperhatikan gerutuannya menghadapi sang suami. Selain karena ia semakin miskin perhatian, rumah tangganya juga diterpa perkara ekonomi. Bunga punya anak gadis lucu dan pintar, tapi semua itu tidak menyelesaikan persoalan-persoalannya.

Di usianya yang belum ranum, Bunga kerap baper menghadapi suami dan mertuanya. Konflik-konflik yang dihadapinya setiap hari semakin runyam. Ibu mertuanya sering mencampuri urusan rumah tangganya, sedangkan ia acap kewalahan memikirkan nasib anaknya jika harus ditinggal untuk mencari penghasilan tambahan. Pernah ia ingin meninggalkan sang suami. Akan tetapi, ia cemas memikirkan masa depan anaknya bila hidup tanpa seorang ayah. Punya anak di usia rawan seperti Bunga akan membikin persoalan semakin rumit. Rumah tangganya pun benar-benar berantakan.

Bukan hanya Bunga, sepupuku yang lain juga tak segan menasihatiku untuk tidak buru-buru menikah. Padahal, ia sudah menikah. Mungkin nasihatnya memang bijaksana, sebab ia dan istrinya memiliki pekerjaan yang sudah mapan di sebuah kota metropolitan sehingga tidak hidup dalam kubangan masalah rumah tangga sebagaimana Bunga. Secara tak langsung, ia seperti memberiku wejangan bahwa jika tak memiliki kematangan mental dan ekonomi seperti dirinya, lebih baik aku tidak menikah saja.

Baca Juga  Lilith: Simbol Keberanian Perempuan dalam Melawan Ketidakadilan Gender

“Hidup itu sudah masalah, Dik. Jangan menambah masalah baru dengan menikahi orang yang salah.” Kalimat itu dilontarkan ketika aku bertanya bagaimana perasannya setelah menikah. Aku pikir sang istri tidak perhatian, tukang selingkuh, atau karena mertuanya menumpang hidup. Ternyata tidak. Mereka tinggal berdua sebagai pasutri yang harmonis.

Menikah memang bukan solusi sekaligus masalah. Mengurangi permasalahan rumah tangga seperti perceraian, KDRT, dan sebagainya bisa diupayakan dengan jalan memantaskan diri. Bersiap sepenuhnya untuk bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Memilih pasangan yang cocok dan dapat menerima keadaan dan pendapat yang berbeda. Memiliki kondisi mental dan ekonomi yang matang. Emosi tidak stabil bisa disebabkan oleh ketidaksiapan mental. Akhirnya, pertikaian tidak terelakkan. Perceraian pun tak kuasa dihindari. Perceraian dan KDRT memang telah diatur dan dapat diselesaikan oleh hukum. Mereka bisa sepakat dan berkompromi. Tapi siapa yang menjamin gelombang tidak akan menghantam sebuah rumah tangga idaman?

Diakui atau tidak, status sosial orang yang bercerai dianggap mengerikan. Akan ada stereotip yang membebani kedua belah pihak. Si lelaki dianggap duda yang tidak bertanggungjawab, sedangkan si istri akan mengalami stigmatisasi atas predikat kejandaannya. Padahal, perceraian bisa jadi keputusan yang jauh lebih baik bagi kelangsungan hidup keduanya. Meski belum menikah, aku mengerti persoalan-persoalan getir tersebut karena hal ini sering terjadi di sekitarku. Latar keluarga retak membuatku lebih matang memilah setiap keputusan agar hidupku tidak fatal.

Baca Juga  Kilas Balik Hari Pahlawan

Sebelum ibuku pergi ke surga, di tengah perjuangan melawan penyakitnya, aku memahami  tuntutan moral bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Para tetangga dan anggota keluarga sering blak-blakan menyinggung dan bertanya mengapa aku belum menikah. Sementara itu, teman-temanku sudah beranak-pinak. Seolah punya hak menyetir hidup keluargaku, mereka kerap mempermasalahkan ketegasan ibuku karena tidak mampu mendesak anaknya untuk segera menikah. Label negatif pun disematkan di jidatku sebagai manusia  abnormal yang tak laku-laku.

Namun, dengan kebijaksanaan seluas samudra, ibu menyimak alasan-alasanku untuk menunda pernikahanku yang sebenarnya ia idam-idamkan. Sebab, aku tahu setiap orangtua menginginkan yang ‘terbaik’ untuk buah hatinya. Ibuku tidak akan rela jika aku dihajar persoalan yang sama dengan masalah yang pernah menimpanya. Setelah pulang ke alam baka, ibuku, ibu terbaik di bumi fana ini, mungkin bisa memahami ketakutan-ketakutanku dan segala ikhtiar yang diam-diam aku persiapkan selama ini. Aku bukannya tak mau menikah. Aku hanya ingin mampu mengatasi angin sakal yang sewaktu-waktu bisa menghantam bahtera rumah tanggaku.

*) Hana Hanisah adalah mahasiswa IAIN Madura, bergiat di Sivitas Kotheka dan Compok Literasi.

Editor : Umarul Faruk

Berita Terkait

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi
Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura
Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO
Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan
Menangkal Overclaim: Peran Edukasi dalam Meningkatkan Kecerdasan Konsumen
Keranjang Belanja yang Berlubang, Mengapa Data Kita Mudah Bocor di E-commerce?
3 Srikandi Berebut Kursi Gubernur Jawa Timur

Berita Terkait

Senin, 13 Januari 2025 - 10:42 WIB

Media Sosial dan Perubahan Paradigma Komunikasi

Rabu, 8 Januari 2025 - 19:47 WIB

Daulat yang Tergadai: Menyoal Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Minggu, 8 Desember 2024 - 12:30 WIB

Potret Pilkada Sumenep: Cerminan Demokrasi Madura

Kamis, 5 Desember 2024 - 12:36 WIB

Problematika Gen Z dan Dampak Budaya FOMO

Senin, 2 Desember 2024 - 13:44 WIB

Mental Health, Hustle Culture, dan Cara Gen Z Bertahan

Berita Terbaru