Pamekasan, SuaraNet—Ainur Rahman mengaku tidak mudah ketika mengejar kariernya sebagai dosen. Tidak semua pemuda desa memiliki pikiran yang sama dengan Ainur: melek pengetahuan dan sadar pendidikan.
Ketika ditanya, apakah dari dulu ingin menjadi dosen? Jawabannya mengejutkan.
“Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seperti saat ini. Ketika masih remaja, saya ingin menjadi seorang vokalis band yang nyanyi dari kafe ke kafe. Menjadi penyanyi di kafe merupakan profesi yang keren di kalangan pemuda seangkatan saya pada waktu itu.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tamat sekolah menengah atas, Ainur melanjutkan kuliah S1 di Universitas Madura hingga selesai. Karena merasa kurang puas, ia membulatkan tekad melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, setelah lulus S1 ia telah menjadi seorang guru sekolah swasta di Sumenep. Ketika masih menjadi guru, setahun kemudian, Ainur berbelok arah dengan melanjutkan pendidikannya.
Baginya, menjadi dosen merupakan konsekuensi berkarier di dunia pendidikan. “Karena saya alumnus Universitas Madura, saya diminta mengajar di sini dan kesempatan itu tidak saya sia-siakan,” ujarnya.
Tak puas dengan itu, dosen Program Studi Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tersebut ingin memantaskan diri lebih jauh dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 yang kini masih tengah ditempuhnya. Bukan hal mudah dan lumrah di kalangan anak muda Madura, tetapi Ainur mematahkan stereotip bahwa orang Madura tidak melek pendidikan.
Selain untuk menikmati karier sebagai dosen, “saya suka ilmu pengetahuan dan membaca menuntut saya melanjutkan kuliah S3 seperti sekarang,” tuturnya malu-malu.
Pada 2021 ia diangkat sebagai asisten oleh dosennya di Universitas Madura. Selama satu semester Ainur menjalankan tugas tersebut sambil melanjutkan kuliah pascasarjana di Yogyakarta yang hampir rampung.
Menurut Ainur, keberuntungannya di dunia pendidikan bergulir dengan cepat. Namun, keberuntungan itu tidak berarti diperoleh dengan mudah. Ia telah ditempa situasi keras dan kegamangan atas masa depan yang penuh ketakpastian.
Berat, tentu saja. Menjadi dosen akan berhadapan dengan banyak tantangan, terutama dalam manghadapi mahasiswa gen Z yang melek gawai. Seorang pendidik tidak boleh kalah cepat dengan peserta didik, baik secara kognitif maupun kemampuan mengoperasikan teknologi kiwari.
“Berhadapan dengan mayoritas mahasiswa yang tanggap teknologi, saya memberikan tugas kepada peserta didik secara kontekstual berbasis proyek. Hal itu mampu meminimalisasi penggunaan kecerdasan buatan yang saat ini banyak digunakan mahasiswa,” pungkasnya.
————-
Penulis:
Wardedy Rosi adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura yang bergiat di Sivitas Kotheka dan Lesbumi Pamekasan.