Sewaktu kita kecil, mungkin kita belum bisa memprediksi akan jadi apa kita di masa depan. Semua seperti mengalir begitu saja. Tau-tau sekarang sudah dewasa dan siap atau tidak, kita harusmenerima apa yang sudah dan akan terjadi.
Sama seperti dulu, anak-anak saat ini mungkin disibukkan oleh aktivitas belajar dan bermain. Mereka belum memikirkan nasib masa depannya. Bahkan, mungkin anak-anak juga tidak memahami apa yang sebenarnya paling mereka butuhkan saat ini. Pendidikan dan lingkungan yang layak serta ikatan emosional dengan kedua orangtua tentu akan memengaruhi masa depan mereka.
Pacarku bilang bahwa selayaknya perempuan, aku harus menjadi madrasah pertama bagi anak-anak kami nanti—jika takdir menghendaki. Sebab, perempuanlah yang akan melahirkan, merawat, dan memberikan edukasi terbaik bagi sang anak, termasuk pendidikan agama yang sampai saat ini masih dianggap perkara paling urgen di jagat sekala ini. Aku iyaian saja kata-katanya. Mungkin selama ini ia tidak pernah kehilangan figur seorang ibu sebagaimana yang kurasakan.
Jika suatu saat nanti memang ingin memiliki anak sebagaimana perempuan pada umumnya, aku akan berusaha memberi buah hatiku hidup paling layak. Aku bakal berupaya menjamin agar anak-anakku bahagia. Melimpahkan kasih sayang selayaknya seorang ibu dan menemani proses pertumbuhan mereka sekhidmat mungkin. Tapi lagi-lagi aku sadar, hidup bukan hanya soal apa yang aku impikan. Dalam memenuhi semua itu, aku masih akan dihadapkan pada masalah lainnya.
Di desa, aku akrab menghadapi kegaduhan anak-anak. Tetanggaku jelas tak ada yang childfree. Rata-rata urusan anak-anak itu ditangani nenek atau bibi mereka. Kedua orangtua anak-anak itu pergi merantau agar bisa menyekolahkan mereka dengan layak. Keadaan seperti itu sudah lumrah dijumpai di desaku. Sang ibu akan memutuskan meninggalkan anak-anak mereka yang telah berumur sekitar 2 tahun untuk mencari penghidupan lebih pasti.
Hal yang sama juga menimpa masa kecilku. Aku tinggal bersama nenekku yang baik hati sekaligus tegas memarahiku jika nakal. Persoalan ekonomi keluargaku begitu sulit. Situasi tersebut memaksa orangtuaku untuk mencari penghasilan di tanah rantau. Hal ini dianggap jauh lebih memberi jaminan daripada diam di rumah menunggu mukjizat dari Tuhan. Setelah bercerai dengan ayah, ibu memutuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di negeri jiran yang hingga saat ini menjadi ladang ekonomi bagi keluargaku yang lain. Ayah dan abangku pun telah menjadi warga negara itu. Dan sebagaimana Bang Toyib, tak pulang-pulang.
Bagiku, ibuku selalu menjadi ibu paling hebat di antara semua ibu di muka bumi. Ia tidak merasa berat atas status kejandaannya. Hal ini juga terjadi pada bibi-bibi dan tetanggaku yang sintas hidup mandiri setelah bercerai dengan suaminya. Mereka memilih merantau ke luar kota atau luar negeri untuk mencukupi kehidupan anak dan orangtuanya.
Memang tidak mudah. Selain menghadapi pahit getir hancurnya rumah tangga, mereka seringkali diterpa persoalan ekonomi yang buruk. Anak-anak pun terpaksa menjadi korban. Meski terbilang menjamin ekonomi, bekerja ke negeri orang bukan berarti tanpa risiko. Tak sedikit dari mereka menerima perlakuan tidak baik di tempat kerja, baik dari majikan atau rekan-rekannya. Masalah seperti itu sudah jamak menimpa para TKW.
Tapi tentu saja bekerja ke negeri rantau tidak selalu ditimpa sial. Dengan tekad gigih, mereka bisa membuat dapur orangtua di rumah tetap mengepul dan biaya pendidikan anak-anaknya terpenuhi. Rumah mereka pun akan terlihat lebih baik daripada sebelumnya. Meski tidak tahu kapan rumah itu akan ditempati, renovasi habis-habisan menunjukkan bahwa mereka telah sukses bekerja di negeri orang.
Jelas, perjuangan mereka tidak semudah mencampakkan seorang pacar. Selain butuh sesuap nasi, anak-anak harapan bangsa yang telah dilahirkan itu juga butuh hidup dalam keluarga harmonis sebagai penentu masa depan mereka nanti. Hanya sedikit di antara para orangtua tersebut yang paham soal itu. Di umur yang sudah lumayan ranum ini, aku pun baru sadar bahwa trauma masa kecil mengganggu hari-hari dewasaku.
Aku sering melihat perbedaan mencolok anak yang hidup dalam rumah tangga utuh dengan mereka yang ditinggal merantau oleh orantuanya. Ternyata, situasi ini benar-benar berdampak pada perilaku dan prestasi si anak. Tentu saja kematangan dan harmoni rumah tangga juga berefek signifikan pada kelangsungan hidup mereka.
Kehilangan sosok ibu tidak ada gunanya untuk ditangisi karena kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita akan dilahirkan dan ayah seperti apa yang kita butuhkan. Juga tak ada gunanya meratapi orangtua yang merantau ke negeri orang. Kita hanya bisa merelakan dan mendoakan mereka. Aku yakin, kebanyakan orangtua akan sepenuhnya bertanggung jawab atas hidup anak-anak yang telah mereka hadirkan ke dunia.