Kicauan burung membunuh kesunyian. Menyandungkan melodi beterbangan. Hembusan angin langsam membelai wajahku lembut. Desirannya menyapu daun telinga, membisikkan ketenangan yang hadir bersanding gerisik dedaunan. Membagi euphoria yang perlahan menyeruak. Membuat kaki jenjang ini semakin larut menjejaki jalan setapak di sekitar taman.
Kulihat beberapa lansia tengah asyik memanjakan diri dengan aroma puspita yang merebak, anak-anak kecil yang berlarian mengejar bola, memperebutkannya, dan beberapa keluarga yang tengah merebahkan diri di atas rumput-rumput kecil sebagai alas. Terlihat bahagia.
Kualihkan pandangan kearah Mega orange yang terlukis indah di ufuk barat. Matahari mulai menenggelamkan dirinya di kaki langit. Namun, bukan mereka yang menyabotase netraku, melainkan seorang pemuda yang duduk di pangkuan kursi taman, di bawah senja. Dengan seulas senyum manis di wajah tampan itu. Kelopak matanya tertutup, terlihat meleburkan diri dalam balutan cahaya surya. Benang hitam di atas kepalanya berkilau, terpapar sinar arona. Ah,bahkan dia lebih indah dari sinar merah keemasan atap dunia bagiku.
Matanya mengerjap sebentar, kemudian terbuka menyuguhkan dua kelereng cokelat berbinar yang sempat tersembunyi. Langit sore hanyut dan tenggelam di dalam obsidian menawan itu. Memantulkan keindahan sungging nabastala. Mempesona. Kutenggelamkan atensinya dalam netraku. Namun, dering di saku membuatnya buyar. Kurogoh benda persegi panjang itu, kemudian menerima panggilan dari orang di seberang.
“Halo assalamu’alaikum, Bunda.”
[Wa’alaikum salam…. Kamu udah pulang?]
“Iya ini Wulan lagi ada di jalan pulang. Kenapa, Bun?”
[Mampir ke minimarket dulu ya. Beli bahan buat makan malam.]
“iya Bun, nanti Wulan beli.”
[Ya sudah. Cepet pulang jangan keluyuran!]
“Iya Bunda. Assalamu’alaikum.”
[Wa’alaikum salam ….]
Kutaruh kembali ponselku ke dalam saku baju. Kulirik sebentar pemuda senja tadi, dia masih di sana. Menatap minat pada sunsetyang hampir bersembunyi di atasnya. Bahkan tanpa berkedip sedikit pun. Tak lama kelopak itu kembali terpejam dengan senyum yang kian mengembang. Melihatnya, sudut bibirku ikut menaik. Tak sadar atensinya menarik poros penglihatanku. Ah,iya pesanan bunda. Aku sampai lupa. Segera kulangkahkan kembali kakiku menjauh dari sana.
¤☆¤
Punggungku terasa berat, menggendong tas berisi buku-buku yang beragam. Sistem fullday yang diterapkan memelintir otak, menguras tenaga. Istirahat sejenak di atas kasur sepertinya menyenangkan. Kulebarkan langkah menapaki jalan, bersegera sampai ke rumah. Namun, rasanya sangat melelahkan. Kuseret tubuhku dengan gontai menelan penat yang menggerayangi raga. Sesekali bersenandung mengisi waktu. Kulalui jalan tanah di taman, lagi. Jalan terdekat dari sekolah ke rumahku.
Taman tak seramai kemarin. Kulihat beberapa insan tengah menyesap kedamaian di sini. Sang lembayung kembali terlukis indah di langit barat. Kuhentikan langkah, sekedar mengobati lelah. Kutatap sejenak senja berkilau itu kemudian sekelebat bayangan mencuri atensiku. Dia duduk di bawah langit merah yang membentang.
Bukankah itu laki-laki senja yang kemarin?
Benar. Pemuda menawan kemarin sore. Kembali bertegur sapa dengan senja. Sama seperti waktu lalu, netranya kembali merapat dengan kedua sudut bibir yang menanjak. Ketenangan yang memeluknya terpancar dalam wajah rupawan itu. Angin yang berlarian menyisir lembut rambut hitam legamnya. Mengecup mesra bibir, pipi, dan dahinya yang terekspos indah. Rasa penasaran memenuhi pikiranku, namun lelah dan cacing di perut yang mulai bergerilya, memaksa kakiku untuk segera kembali melangkah, bergegas mencapai rumah. Membunuh rasa penasaran yang bertamu sementara.
¤☆¤
“Wulan, nanti malam aku menginap di rumahmu ya. Sekalian mengerjakan PR Akuntansi. Aku kesusahan di bagian laba ruginya.”
Liana mengaduh seraya memainkan handphonenya. Dia sahabatku, sedari kami masih belajar membaca. Rumahnya di samping rumahku. Kedua orang tua kami juga sahabat.
“Iya. Sekalian aku juga mau bertanya sejarah.”
Jawabku sembari memperlambat langkah, menyamakannya dengan milik Liana yang sejak tadi berjalan di belakangku. Dia tak menggubris malah sibuk berkutat dengan ponsel canggih yang asyik bercumbu dengan jemarinya. Terkadang tersenyum-senyum sendiri layaknya orang gila.
“Kamu…punya gebetan ya? Senyum-senyum sendiri. Untung taman lumayan sepi. Kalau enggak udah disangka gila.”
Sengaja kulontarkan godaan, membuat pipinya merona. Dia sahabatku yang lugu. Sejak dulu belum mengenal yang namanya asmara. Dia hanya mendelik dengan telinga memerah. Aku tertawa puas, kemudian mengalihkan pandangan. Jemariku memainkan tali tasku, pandanganku berkelana menyusuri penjuru taman. Sengaja kuarahkan ke arah barat. Dan benar saja, dia di sana. Seperti biasa larut dengan kegiatan menikmati sore indah-nya. Pangeran senja, sengaja kuberikan julukan itu karena aku tak tau namanya. Jangankan nama, dia siapa saja aku tak kenal.
Senyum itu lagi. Yang membuatku jatuh cinta. Menyejukkan, menghangatkan jiwa. Namun aku sadar, terpesona pada orang asing yang tak mengenalmu terlalu mengenaskan. Bolehkah berharap dia menoleh dan melihatku tersenyum untuknya di sini?
“Lan, Lan, woii Wulan!”
Aku tersentak. Menoleh ke arah Liana yang merengut. Menatapku dengan heran.
“Kok bengong sih, Lan? Aku panggil gak ngerespon. Jangan-jangan kamu kesambet ya?”
“Na’udzubillah… Heh ngomong tuh dijaga. Kalo kesambet beneran gimana?”
Liana meringis setelah tanganku mendarat kasar di dahinya, mendumal sebentar lalu menyengir sembari meminta maaf.
“Habisnya…. Iya udah pulang yuk. Udah hampir jam setengah lima nih.”
Kulirik jam tanganku, kemudian mengangguk menanggapinya. Sebelum benar-benar pergi, kutolehkan kembali kepalaku ke arah pemuda itu. Hanya perasaanku saja atau benar barusan dia mengalihkan pandangannya dari tempat kami berdiri? Belum sempat terjawab, Liana menarik paksa lenganku agar segera pulang. Pasrah saja daripada harus beradu mulut lebih baik menurut. Kedua sudut bibirku menaik melihat senyum itu untuk kesekian kalinya. Sampai jumpa lagi pangeran senja, kuharap.
¤⭐¤
Berawal mendusel manja dan memeluk bunda, kemudian sedikit mengusili beliau yang tengah sibuk memanjakan mata menonton serial drama, hingga berakhir diusir sejenak dan terdampar di taman. Setidaknya lebih baik daripada terkurung dalam kamar. Minggu sore, waktu yang tepat menyegarkan otak serta tubuh setelah berhari-hari berkutat dengan kegiatan sekolah.
Seperti biasa, tampak beberapa pengunjung meleburkan diri, melepas penat dari kegiatan daily masing-masing. Kusertakan diri, menghirup wangi puspa yang menari-nari tersapu angin. Mengayunkan langkah perlahan sembari menyesapi musik klasik. Kemudian berhenti tak terlalu jauh dari kursi panjang yang sering kuamati, tepatnya orang yang sering duduk di sana setiap sore hari, menyapa senja.
Namun, kali ini hanya ada bangku kosong. Sedikit Kecewa sebenarnya. Kuedarkan pandangan mencari atensinya di sekitar. Sayangnya tak kutemukan. Mendekat ke tempat itu, kududukkan diri di sana. Menatap lurus ke depan dan sedikit menengadah. Panorama di hadapan memaksa senyumku mengembang. Langit senja menyapaku dengan anggun dan sangat indah.
Menyenangkan. Tak heran pemuda itu sering menghabiskan waktu di tempat ini. Jadi, begini rasanya.
Kupejamkan mata tatkala belaian lembut angin yang penuh afeksi menyapu seluruh wajah dan tubuh. Membagi ketenangan, menghilangkan penat. Semakin lama kian tenggelam dalam pesona alam. Hingga sebuah dehaman membuatku tersentak dan segera menoleh ke belakang. Tercekat saat obsidianku menangkap kehadiran pemuda itu. Hening sejenak, kemudian si pemuda memutuskan memecahnya dengan senyum yang terlihat manis di mataku.
“em…ini tempat dudukmu ya…maaf a-aku cu-cuma singgah sebentar. Aku akan pindah dan kamu bisa duduk.”
Ucapku gugup seraya menggapai handphone dan hendak pergi segera meninggalkan tempat itu. Namun jawaban darinya menghentikan langkahku.
“Bangku itu milik umum. Siapapun boleh mendudukinya, termasuk kamu dan aku.”
Dia mendudukkan diri dengan santai di atas pangkuan kursi taman itu. Tatapannya lurus ke depan, namun sedetik kemudian beralih ke arahku yang masih bergeming. Tersenyum, lagi, kali ini lebih lembut.
“Kalau tidak keberatan kita bisa berbagi tempat. Itu pun kalau kamu masih ingin di sini. Lagipula bangku lainnya udah penuh.”
Kuedarkan penglihatan ke seluruh sudut taman dan memang benar tak ada bangku kosong lagi. Tanpa beranjak kutatap dia ragu. Seakan tau apa yang kupikirkan, tiba-tiba pemuda itu berdiri, mendekat kearahku dan menyodorkan tangannya.
“Revan”
Katanya dengan senyum yang tak lepas menghiasi wajah itu membuatku melongo sesaat, namun dengen segera kusambut tangan itu. Kusunggingkan senyum balasan dengan sopan.
“Wulan”
Tautan tangan kami terlepas. Dia kembali menempatkan diri di tempatnya semula. Kemudian mengajakku duduk. Perlahan kudaratkan diri di sampingnya, agak jauh. Hening, tak ada pembicaraan, hanya kicauan burung-burung dan hembusan angin langsam. Situasi yang sangat akward. Bola mataku bergulir, meliriknya sejenak. Dapat kulihat, dia tengah meleburkan diri dengan alam, seperti biasa. Sosok yang kulihat dari jauh sebelumnya, ternyata lebih menawan dipandang dari dekat. Entah kenapa rasanya kupu-kupu seakan berterbangan menggelitiki perut lalu merebak ke seluruh jantung. Menanam benih rasa yang mulai bertunas, membuatku ingin menari-nari. Hanya saja masih sadar diri untuk tak melalukan hal gila itu. Daripada membuatnya risih lebih baik Kuikutsertakan diri dalam kegiatannya. Menyesap aroma bunga sore hari. Begitulah akhir sore hari kali ini, menjadi awal cerita sepasang makhluk yang tengah diselubungi perasaan kasih.
*) Homaedi merupakan mahasiswa Fisip UMM prodi sosiologi.