Jalan Menuju Batang-Batang
Malam adalah waktu perjumpaan
Antara dingin dan sekujur tubuh pejalan
Yang meringkuk hening di sepanjang kening
Di belukar rindu, terlelap sebuah ringkih angin
Bahkan pantai Lombang tak kuasa melumat rasa
Cemara adalah kesetiaan yang tak pernah menyesali temu
Di Gapura, aku menyusun jiwa menjadi ketulusan
Melewati persimpangan batang-batang, tempat hatimu mengesakan Tuhan
Jalanan berkelok, segala sepi mengurung diri
Hanya aku yang tabah melewati setiap meter keheningan
Untuk membawakan segala cinta yang membuncah
Dalam debar dadaku ketika mengeja landai alismu
Sumenep, 2022
Hujan di Tubuh Ibu
Aku tak pernah menemukan kemarau
Di tubuhmu, tak ada lahan tandus
Kecuali hujan yang beranak-pinak
Menciptakan basah, untuk jiwaku yang kerontang
Demikian hujanmu bertandang
Cara terbaik memulangkan resah
Bulir yang jatuh berkali-kali
Merapal doa di segala penjuru sunyi
Sumenep, 2022
Bersepeda
Kau pun mecumbui segala senyum, ayah
Roda sepeda berputar landai, membesuk beribu gigil jalanan
Sedangkan aku dan kamu menceritakan pagi
Yang dengan romantis merakit memoar malam
Tak ada isak bebatuan yang terdengar
Atau duka dari dedaunan di masalalu
Kita hanya menyaksikan embun mendengkur
Dan camar-camar menggelar ritual syukur
“Pagi masih perawan, nak.
Para pecundang belum menghisapnya, hingar-bingar belum terdengar,
tubuhnya masih ranum, seranum wajah ibumu,” katamu sambil mengeja arah
Sejauh 800 meter kita beranjak dari tubuh ibu
Yang sejak pagi buta telah menyiapkan kami kedamaian
Perempuan yang ayah cintai segenap hati
Wanita tempat aku memulangkan rintih
Sumenep, 2022
Sebuah Cermin
Aku membaca tubuhku sendiri, sekujur
Sebelum Tuhan menjemputnya pulang
Kupastikan tak ada lagi luka yang basah
Di setiap lekuknya, aku menanamkan doa
Cermin begitu mahir memantulkan kenangan
Yang sejak lama kurapikan betul di dada
Usia kian bertunas sebelum kematian
Lekuk keriput di wajah adalah takdir yang niscaya
Sumenep, 2022
Dini Hari
Garis diameter purnama, manakah yang lebih dekat dari Tuhan?
Sebab aku adalah pecundang yang belajar tabah
Meski rintih dada berkali-kali menjadi hujan air mata
Namun ciuman sajadah dan keningku adalah memoar paling indah
Sumenep, 2022
*) Penulis adalah Aqil Husein Almanuri–Hamba Tuhan yang melankolis