SUARANET-Baiq Zuhriyati (53) masih mengingat dengan jelas saat warga di daerahnya kurang mampu menjangkau pangan untuk kebutuhan sehari-hari karena lonjakan harga pangan yang cukup tinggi sekitar pertengahan 2018 lalu. Salah satunya, saat harga cabai yang pernah mencapai 120 ribu per kilogram.
Fenomena itu mendorong dia dan sejumlah ibu-ibu di Dusun Embung Jago, Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat memenuhi pangan secara mandiri dan kolektif dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT).
“Ceritanya, ide membentuk KWT itu muncul ketika musim cabai mahal. Saat itu, kami bingung. Bagaimana dapat memenuhi pangan untuk dimasak di dapur. Akhirnya, saat kumpul sama ibu-ibu sekitar sini, dapat ide bentuk KWT, dan kebetulan saya dipercaya jadi ketuanya,” ungkapnya akhir Agustus 2022 lalu di rumahnya.
Sebelumnya, dia mengaku pernah mendengar istilah KWT. Namun untuk KWT yang dia dirikan bersama ibu-ibu setempat atas inisiasi sendiri, tanpa saran atau komunikasi dengan pemerintah.
Setelah dibentuk, Ibu-ibu yang tergabung dalam KWT secara bertahap menanam tanaman pangan berupa rempah dan sayur-mayur yang mudah ditanam di polybag atau langsung ke tanah di area halaman dan samping rumah dan itu dilakukan di pekarangan rumahnya masing-masing.
Sedang untuk dan kebutuhan pangan yang harus melalui pertanian di sawah skala besar seperti beras tetap beli. Karena, sebagian besar tidak punya lahan untuk berladang.
Awal memulai, bibit dan benih yang ditanam didapat dengan cara urun benih dan uang sesama anggota untuk beli bibit dan benih-benih yang dibutuhkan secara sukarela dan dibagi rata ke semua anggota.
“Awal bentuk, anggotanya delapan belas orang. Pada tahun 2020, melakukan penambahan anggota sampai 30 orang. Hal itu dilakukan, saat ada penawaran benih melalui Program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) oleh Dinas Ketahanan Pangan dan diajak bergabung untuk ada di bawah binaannya,”
Berdasarkan urun rembuk anggota, katanya, KWT siap menerima tawaran itu dan KWT mengajukan proposal sesuai prosedur. Akan tetapi, sampai Agustus 2022 belum ada informasi lanjutan.
“Kami sudah ajukan proposal. Tapi nggak ada kabar lagi. 2021 pernah ada yang respon dan bilang mungkin 2022 bisa dapat. Tapi nyatanya, sampai saat ini, belum ada kabar juga. Kami malu yang mau ke Pemda untuk urus lebih panjang. Karena tipe kami bukan tipe peminta. Dibantu ya bersyukur, nggak dapat pun nggak papa. Saat ini, kelompok kami sedang melakukan peremajaan dan memulai penanaman,”
“Tanaman yang ditanam ibu-ibu di KWT dikelola secara organik. Coba sekarang musim hujan, pasti banyak jahe dan tanaman sejenis yang tumbuh di sekitar sini. Itu dia, polybag banyak yang kosong. Itu bekas tanaman jahe, serai dan kunyit. Kebetulan, saya juga suka buat jamu berbahan jahe, kunyit, serai dan lainnya. Tapi serainya sudah mati,” beber Zuhriyati sembari menunjuk ke arah polybag di samping kanan rumahnya.
Hasil panen dari ide itu, ada yang cukup untuk kebutuhan di rumah si anggota. Tapi ada juga yang sampai bisa bagi-bagi ke tetangga terdekat. Bahkan, diantara ibu-ibu anggota itu, kadang saling tukar hasil panen.
“Dari delapan belas anggota awal KWT, 15 anggota mayoritas mantan buruh migran. Hanya 3 anggota yang tidak pernah menjadi buruh migran, tapi bagian dari keluarga buruh migran saja,”
Dia membeberkan, 3 orang yang tidak pernah jadi buruh migran itu, salah satunya Ibu Zuh. Alasannya, karena dulu, mantan suaminya yang jadi buruh migran. Dia memilih tetap bertahan karena jadi guru honorer. Sedangkan 2 lainnya, memilih bertahan karena tidak ingin terjebak dalam dinamika buruh migran atau tidak mau dengan resikonya. Selain itu, alasan mendasar, suaminya sudah jadi buruh migran dan kendala di ongkos. Akhirnya, sampai sekarang, memilih tetap bertahan di daerahnya.
Aktivitas menanam dan pertemuan bersama KWT, dia lakukan di tengah-tengah jeda aktivitasnya menangani kasus-kasus buruh migran bersama organisasi yang konsen mengadvokasi isu buruh migran.
Minhatul Aula, anak dari Ibu Zuh, mengaku turut menerima dampak dari tanaman pangan yang ditanam melalui ide-ide KWT.
“Menurut saya, ide ibu-ibu di KWT itu luar biasa. Paling tidak, dapat menikmati pangan secara mandiri dan gratis. Dari ide KWT juga, ibu-ibu di sini dapat saling bagi hasil panen. Di sini kan pedesaan. Jadi kalau pas kumpul-kumpul, ada yang cerita tidak dan punya cabai. Yang punya, langsung bilang, silakan ambil di rumah atau bahkan dibawakan. Jadi, saling bagi makanan atau hasil panen dari tanaman, itu sudah biasa dilakukan,” jelas Minha.
Minha bilang, ibu-ibu KWT banyak yang memanfaatkan kotoran peternakan itu untuk dijadikan pupuk organik pada tanaman yang ada di pekarangan rumahnya. Kebetulan, di daerah mereka tinggal beberapa tetangganya banyak yang punya usaha peternakan ayam. Baik ayam pedaging maupun petelur.
“Kalau pas Covid kemarin, saya ingat betul, ibu-ibu di KWT semangat menanam. Mereka tidak hanya tanaman pangan, ada yang tanam tanaman hias di teras dan halaman rumahnya,” ungkapnya.
Fajar Bambang Hirawan, peneliti Ketahanan Pangan dari Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) merespon KWT di Jenggik Utara tersebut.
Menurutnya, KWT ini adalah bentuk perwujudan kegiatan ekonomi yang inklusif. Peran wanita dalam kegiatan pertanian dan pemenuhan kebutuhan pangan memang seharusnya diprioritaskan sehingga tidak ada lagi pembatasan ruang berkreasi/berkarya bagi kaum hawa tersebut.
Soal ketahanan pangan dan keberlanjutan, katanya, memang selalu menjadi masalah klasik. Namun, penguatan ekosistem KWT ini memang perlu didukung oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah, swasta, sampai lembaga non pemerintahan (NGO/CSO). Jika KWT telah mendapat dukungan dari banyak pihak dan keberadaannya sudah diperhitungkan, akan lebih mudah bagi KWT, bukan hanya untuk bertahan bahkan berkembang secara lebih luas lagi.
“Selain ekosistem dan rekognisi tadi, hal penting juga terkait dgn formalitas dari KWT. Jika telah berstatus badan hukum dan formal, pengembangan KWT akan lebih mudah lagi, apalagi nantinya akan berdampak pada akses pembiayaan,” ujarnya, melalui aplikasi percakapan, Selasa, 8 November 2022.
Fajar menyarankan, agar KWT lebih proaktif untuk memberikan banyak evidence-based, terutama SDGs yang memang perlu direalisasikan oleh seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, hingga 2030 mendatang.
“Saya berharap ibu-ibu KWT dan kaum perempuan terus bergerak maju untuk mewujudkan SDGs menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, di mana perempuan harus lebih berperan dalam pembangunan dengan mengoptimalkan sumber daya domestik yang ada, tanpa harus pergi ke luar negeri sebagai buruh migran,” katanya.
Hayu Dyah Patria, peneliti dan ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa menjelaskan, KWT di Jenggik Utara ini adalah inisiatif yang sangat bagus dari kelompok perempuan di desa Jenggik Utara. Apalagi kemudian mereka berhasil memanen hasil tanam mereka bahkan surplus sehingga bisa dibagikan ke tetangga terdekat.
“Ini adalah contoh kemandirian pangan dari lingkup terkecil, yaitu rumah tangga dan komunitas. Kelompok tani perempuan ini juga sudah memberikan contoh bagaimana sebuah sistem pangan bertransformasi, yang notabene adalah bahasan yang sedang “panas” saat ini di berbagai forum global tentang bagaimana sistem pangan kita saat ini sudah begitu rusak dan tidak seimbang dan harus ditransformasi sehingga menjadi sistem pangan yang lebih sehat dan inklusif,” katanya, Selasa 15 November 2022.
Kelompok perempuan ini, ujar Hayu, dengan inisiatif mereka membagikan kelebihan hasil panen dan saling bertukar panen, sudah membuktikan aspek inklusif, dimana mereka merangkul semua anggota komunitas untuk menikmati bahan pangan yang sehat, memastikan bahwa tidak ada anggota kelompok masyarakat yang kelaparan.
Inisiatif ini juga menjadi bukti bahwa kita bisa memangkas rantai pangan yang saat ini terlalu panjang menjadi lebih pendek, ketika rantai pangan lebih pendek, maka semakin bernutrisi pula bahan pangan mereka. Jadi, ini adalah inisiatif yang patut dipertahankan.
“Dengan mempertahankan kemandirian mereka sebagai kelompok tani dan berjejaring. Baik itu berjejaring dengan sesama petani atau berjejaring dengan konsumen (jika rencana ke depan adalah mengembangkan kegiatan menjadi usaha bersama). Kelompok perempuan ini juga perlu mulai memikirkan inovasi, misalnya membangun sistem CSA (community supported agriculture), dimana konsumen sudah membayar di depan hasil panen mereka untuk menjamin penyerapan hasil panen,” katanya.
Menurutnya, jika ke depan mereka ingin membentuk unit usaha dan ingin mendapatkan bantuan dari bank, maka tentu perlu ada legalisasi organisasi. Namun, di luar itu, jelasnya, mereka tidak perlu mendaftarkan organisasi secara hukum, selain karena biayanya yang cukup mahal dimana uang sebaiknya digunakan untuk pengembangan kebun mereka, masih ada banyak sekali cara untuk mengembangkan organisasi dan kebun tanpa proses legalisasi. Struktur organisasi dan program yang sudah mereka rumuskan tentu tidak sia-sia, itu bisa digunakan untuk berjejaring dengan berbagai pihak.
Dia menyarankan, KWT harus terus berjalan terus. Mereka sudah membuktikan bisa berjalan maju tanpa bantuan dari pihak mana pun, termasuk pemerintah, ketika di awal-awal pembentukan. Ke depan, akan ada banyak sekali penawaran-penawaran seperti itu, dimana mereka harus siap untuk berubah menuruti kebutuhan pihak yang akan membantu.
hal itu, kata Hayu, sudah terlihat, ketika Dinas Pangan menawarkan bantuan, mereka harus menambah anggota menjadi minimal 30 dan lain-lain. Tentu ini akan mengubah dinamika kelompok, karena ketika mereka memulai inisiatif ini dengan jumlah anggota kecil sambil membangun kesolidan, namun tiba-tiba dipaksa menjadi besar hanya agar mereka diakui oleh pemerintah, akan mengubah dinamika dalam kelompok.
Dia rekomendasikan agar gagasan ibu-ibu Jenggik Utara ini untuk mengubah nama kelompok mereka dulu agar kemudian tidak diasosiasikan dengan program buatan pemerintah. Hal ini juga menjaga agar kelompok mereka tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil untung dari mereka.
“Kebanyakan pemerintah suka mengklaim hasil kerja kelompok ketika kelompok itu sudah sukses, walau di awal-awal pembentukan mereka cuek atau memberikan bantuan setengah hati. Hal seperti yang sudah terjadi,” tegasnya.
Perihal nama, kata Hayu, gunakan kata “perempuan” alih-alih menggunakan kata “wanita”. Karena kata “perempuan” secara etimologi memiliki arti yang lebih kuat daripada kata “wanita”. Kata perempuan lebih menunjukkan kesetaraan dan kekuatan. Nama kelompok bisa diubah menjadi Kelompok Tani Perempuan atau semacam itu. Jangan menggunakan KWT.
Kedua, memperkuat sistem kelembagaan mereka, termasuk diantaranya adalah kesolidan anggotanya dan membuat visi, misi dan perencanaan yang matang secara bersama-sama. Sehingga ini akan menjadi acuan bagi mereka untuk menjalankan inisiatif mereka dan tidak mudah beralih fokus.
Ke depan, ketika mereka semakin sukses akan ada banyak pihak yang mengajak mereka kerjasama, ada yang niat ada yang hanya ingin memanfaatkan, dengan kelembagaan yang kuat mereka bisa memilah tawaran-tawaran kerjasama yang masuk dan hanya menerima tawaran yang memang benar-benar sesuai dengan visi dan misi lembaga serta program mereka.
Ketiga, tetap jeli dan berhati-hati dengan berbagai tawaran yang datang. Seperti, tawaran benih dari pemerintah jika kita lihat dari politik pangan secara global, adalah usaha pemerintah untuk membuat petani tergantung pada benih buatan perusahaan, karena benih bantuan mereka adalah benih hibrida, yang notabene adalah benih mandul. Kemandirian pangan juga harus diciptakan melalui kemandirian benih. Gunakan hanya benih organik yang bisa terus dikembangbiakkan secara terus-menerus, sehingga kelompok tidak harus membeli benih setiap saat.
“Kembangkan keterampilan anggota kelompok dalam keterampilan pemuliaan benih. Saya yakin jaman dulu sebelum Revolusi Hijau, perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap benih, termasuk mengembangkan benih. Jadi pengetahuan dan ketrampilan ini harus dihidupkan kembali,” sarannya.
Hayu beberkan, Lombok juga sangat kaya akan berbagai jenis kacang-kacangan, ini juga bisa dikembangkan dan tidak perlu membeli benihnya karena saya yakin masih banyak di rumah-rumah tangga yang menyimpan benih-benih lokal. Bahkan di pasar di Lombok saya dengan sangat mudah menemui penjual menjual aneka jenis kacang-kacangan yang itu bisa dijadikan benih.
“Yang Tak kalah penting, pertahankan kemandirian kelompok. Jangan mudah terlena dengan tawaran bantuan atau kerjasama dari berbagai pihak, terus perkuat visi misi kelompok. Perluas jejaring. Pertahankan kemandirian dari hulu ke hilir. Dari benih hingga pengolahan pangan,” pungkas Hayu.
Dina Novia Priminingtyas dan Yayuk Yuliati dari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dalam naskah ilmiah berjudul “Peran Perempuan Dalam Ketahanan Pangan Keluarga” yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Pertanian 2016 menjelaskan, peran perempuan dalam ketahanan pangan sangat penting karena perempuan terlibat mulai dari kegiatan produksi pertanian, pengolahan dan menyiapkan pangan di keluarga serta bertanggung jawab dalam pemenuhan gizi keluarga.
“Tetapi selama ini peran perempuan sering diabaikan dan hanya dianggap sebagai rutinitas biasa. Tanpa peran perempuan tidak akan bisa menghasilkan generasi muda yang hebat dalam memimpin suatu bangsa,” tulis naskah tersebut
Oleh karena itu, penjelasan lebih lanjut, perlu adanya kebijakan yang berpihak kepada kaum perempuan serta pemberdayaan perempuan dalam ketahanan pangan seperti : meningkatkan peran aktif perempuan di kelompok tani, pelatihan budidaya pertanian dan manajemen usahatani, penyuluhan tentang pengolahan hasil pangan, gizi keluarga, kesehatan keluarga yang melibatkan perempuan. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan partisipasi perempuan dalam ketahanan pangan bangsa pada umumnya dan di keluarga pada khususnya.
Widya Nur Bhakti Pertiwi dan Farah Putri Wenang Lusianingrum dalam penelitian berjudul “Motivasi Dan Persepsi Wanita Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di Masa Pandemi Covid-19” memaparkan, motivasi dan persepsi menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan partisipasi wanita dalam menjaga ketahanan pangan di masa pandemi covid-19. Dimana persepsi menjadi faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi keputusan para wanita di Kampung Ramanuju Baru dalam berpartisipasi melaksanakan urban farming agar masyarakat menjadi lebih mandiri, dan dapat mewujudkan ketahanan pangan.