Jakarta– Polemik seputar data latar belakang pendidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 211 dari 580 anggota DPR terpilih tidak mencantumkan riwayat pendidikan mereka saat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal ini memicu kritik keras dari Direktur Democracy and Electoral Empowerment (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
Menurut Neni, temuan ini menunjukkan adanya kemunduran dalam praktik demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia bahkan menuding KPU sengaja menutupi ketidakjujuran para calon legislatif (caleg) dengan regulasi yang lemah.
“Saya sangat menyayangkan ketidaktegasan KPU yang seolah-olah sengaja menutup ruang untuk ketidakjujuran ini,” ujar Neni.
Lebih lanjut, Neni menilai ketidaktransparanan ini bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ia menekankan bahwa masyarakat berhak mengetahui rekam jejak lengkap para calon wakil rakyat yang mereka pilih.
“Kalau ketertutupan seperti ini, patut dipertanyakan. Ini menunjukkan komitmen DPR sejak awal sudah tidak beres,” tegas Neni.
Kondisi ini, menurutnya, diperparah dengan sikap partai politik yang tidak proaktif mendorong kadernya untuk lebih terbuka. Ia menambahkan, seharusnya KPU membuat aturan yang lebih ketat, mewajibkan caleg mencantumkan riwayat pendidikan secara rinci dan dapat diakses publik.
Neni menduga, kelemahan regulasi KPU ini bisa jadi upaya untuk melindungi pejabat publik dan elite politik yang maju sebagai caleg.
“Jangan-jangan memang ada di antara mereka yang bermasalah riwayat pendidikannya dan dikhawatirkan publik bisa mengetahuinya, yang sangat mengganggu peta politik di internal partai,” tutupnya.
Penulis : Dalif
Editor : Bara






