SuaraNet – Fenomena brain drain di Indonesia semakin nyata. Setiap tahun, ribuan tenaga profesional dari ilmuwan, dokter, hingga insinyur memilih berkarier di luar negeri. Mereka pergi bukan tanpa alasan: gaji lebih tinggi, lingkungan kerja lebih kondusif, serta kesempatan berkembang yang lebih besar dibandingkan di dalam negeri.
Di Indonesia, banyak lulusan terbaik justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Dunia riset dan inovasi juga belum menjadi prioritas, dengan minimnya pendanaan dan fasilitas yang memadai. Sementara itu, negara-negara maju dengan senang hati menerima mereka, menawarkan gaji tinggi, laboratorium modern, dan peluang berkembang yang lebih luas.
Dampaknya? Indonesia kehilangan aset berharga. Tanpa tenaga ahli, kemajuan teknologi melambat, riset tertinggal, dan ekonomi kehilangan potensi besar. Ironisnya, negara yang menikmati manfaat dari talenta Indonesia justru semakin maju, sementara negeri asalnya masih berkutat dengan masalah klasik: birokrasi rumit, kurangnya penghargaan terhadap profesional, dan kebijakan yang belum berpihak pada pengembangan SDM.
Jika ingin menghentikan brain drain, Indonesia harus berbenah. Gaji dan kesejahteraan tenaga profesional harus lebih kompetitif. Infrastruktur riset dan inovasi harus menjadi prioritas. Yang terpenting, ada perubahan mindset: bahwa talenta terbaik bangsa bukan hanya sekadar statistik, tetapi aset yang harus dijaga. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi “pabrik talenta” yang terus mengirimkan orang-orang terbaiknya untuk membangun negeri orang.