SuaraNet – Pondok Pesantren Banyuanyar adalah salah satu pondok pesantren tertua yang ada di pulau Madura utamanya di Indonesia.
Pondok Pesantren ini terletak di Desa Potoan Dajah, Palengaan, Pamekasan, Madura.
Sejarah singkat Pondok Pesantren ini berawal dari surau (langgar) kecil yang dirintis oleh Kiai Isbat bin Ishaq pada 1787 M/ 1204 H.
Kiai Isbat dikenal kiai karismatik, selain itu beliau terkenal kezuhudan dan ketawaduannya (andhep asor) oleh masyarakat luas, salah satu keistimewaan Kiai yang karismatik itu, beliau melakukan riyadhah berpuasa selama bertahun tahun ditujukan kepada pondok pesantren, keluarga, serta yang terakhir kepada santri-santrinya.
Nama Pondok Pesantren Banyuanyar diambil dari bahasa Jawa, Banyu berarti air dan Anyar berarti baru.
Hal ini dinisbatkan pada penemuan sumur baru yang memancarkan mata air yang tak henti mengalir, sehingga cukup memancarkan untuk warga pesantren dan seluruh masyarakat sekitar.
Kepemimpinan Kiai Isbat mulai sejak 1787 hingga 1868 yang secara teknis pengajaran pesantren ini masih klasik dan hanya memfokuskan pada pembelajaran Alquran dan kitab kuning.
Lebih lanjut, sejak 1868 hingga 1933 kepemimpinan pondok pesantren ini beralih pada putra tertua Kiai Isbat yang bernama KH Abdul Hamid bin Isbat.
Beliau terkenal ketekunannya dengan mencari ilmu sampai akhir usianya beliau masih tetap belajar dan semangat mencari ilmu, beliau berguru pada para ulama terkenal saat menuntut ilmu di Makkah, salah satunya kepada Syekh Nawawi al-Bantani.
Dari beberapa bukti ketekunannya dalam mencari ilmu, beliau meninggal dunia dalam keadaan mencari ilmu yang dikenal dengan sebutan rihlah ilmiah, pada 1933 beliau naik haji sekaligus kembali menuntut ilmu kepada para ulama Makkah, pada tahun itu pula beliau wafat di Makkah al-Mukarramah dan dikebumikan di sebelah barat pemakaman Ma’la.
Setelah KH Abdul Hamid bin Isbat wafat, kepemimpinan pondok pesantren ini diambil alih oleh putranya yang bernama KH. Abdul Majid, sejak 1933 hingga 1943 M. Beliau yang dikenal sebagai santri yang gemar berkelana saat menuntut ilmu.
Dari beberapa pesantren yang pernah beliau kunjungi dan juga pernah menimba ilmunya adalah Pondok Pesantren yang diasuh KH Mohammad Khalil di Bangkalan, kemudian beliau pindah ke pondok pesantren Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo.
Kemudian beliau turut menimba ilmu di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuran. Setelah itu, beliau melanjutkan studi ilmu-ilmu agamanya ke Makkah al-Mukarramah, dari hasil pengembaraan ilmiahnya, beliau salah satu Kiai yang alim selain itu (banyak pengetahuan ilmu agamanya) dan menghasilkan karya tulis yang diberi nama kitab Tarjuman. Kitab ini dikarang khusus oleh beliau untuk menambah pengetahuan santri dan masyarakat sekitar tentang ilmu tajwid, akidah atau tauhid, fiqih, dan akhlak.
Beliau juga memiliki karya seperti kumpulan bacaan khutbah Jumat berbahasa Arab yang hingga kini masih dibaca oleh para khatib Jumat di sekitar pondok pesantren Banyuanyar, Bata-bata, Al-Mujtama’ dan pondok-pondok pesantren besar lainnya.
Setelah itu, tepatnya pada 1943 KH Abdul Majid merintis pondok baru di daerah Panaan, Palengaan, Pamekasan, sekitar dua kilo meter dari Banyuanyar dan berdomisili di tempat itu sampai wafat pada 1955.
Pada periode selanjutnya, sejak 1943 hingga 1966 kepemimpinan Pondok Pesantren Banyuanyar dilanjutkan oleh KH Abdul Hamid Baqir.
Dalam masa kepemimpinannya KH Abdul Hamid Bakir dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, ia menonjolkan identitas nasionalisme pondok pesantren yang erat, hal ini terbukti dengan berdirinya dua tugu burung garuda besi sebagai lambang negara Indonesia.
Tentu banyak cerita yang menyebar dari lisan ke lisan terkait keistimewaan KH Abdul Hamid Bakir ini, menurut salah satu santrinya banyak karamah yang ditunjukkan beliau, sehingga beliau dikenal sebagai kiai yang sakti.
Kemudian pada 1980 KH Abdul Hamid Bakir wafat dan kepemimpinan pondok diserahkan pada menantunya yang bernama KH Muhammad Syamsul Arifin, sejak 1980 sampai 2021, KH Muhammad Syamsul Arifin dikenal kiyai (Hilim) atau disebut dengan rendah hati, karena sejak beliau berumur lima belas tahun sudah sering ditunjuk oleh KH Abdul Hamid Bakir untuk menggantikan beliau ketika berhalangan mengajar para santri.
Kemudian kepemimpinan selanjutnya pondok pesantren ini dilanjutkan oleh putra KH. Hasbullah Mohammad Lc. Sejak 2021 Hingga saat ini, beliau merupakan putra tertua dari KH. Mohammad Syamsul Arifin.