Jakarta– Nama Raffi Ahmad tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Hal ini menyusul isu dugaan penggelapan pajak senilai Rp340 miliar.
Kabar tersebut muncul setelah publik membandingkan total kekayaannya yang dikabarkan mencapai lebih dari Rp1 triliun, dengan jumlah pajak yang dibayarkan, yang disebut hanya sekitar Rp1 miliar.
Isu ini pertama kali diangkat oleh ekonom senior, Kisman Latumakulita. Menurutnya, sebagai Utusan Khusus Presiden, Raffi seharusnya membayar pajak sekitar sepertiga dari total kekayaannya.
“Untuk pejabat negara, itu aib. Itu bukan contoh baik sebagai pejabat negara,” ujar Kisman.
Namun, benarkah Raffi harus membayar pajak sebesar itu? Pengamat pajak Prianto Budi Saptono memberikan penjelasan yang meluruskan mispersepsi ini.
Ia menegaskan bahwa pajak di Indonesia dikenakan pada penghasilan tahunan, bukan pada total harta kekayaan.
Menurut Prianto, LHKPN yang sering jadi acuan media dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang jauh berbeda dengan nilai pasar sebenarnya.
Oleh karena itu, menyimpulkan bahwa Raffi wajib membayar pajak Rp340 miliar dari kekayaannya adalah keliru.
“Pajak kena pada penghasilan tahunan, bukan pada nilai total harta kekayaan,” jelas Prianto.
Ia juga menambahkan bahwa pajak penghasilan (PPh) dihitung dengan tarif progresif berdasarkan penghasilan yang didapat setiap tahun, bukan dari akumulasi harta.
Jadi, isu pajak ratusan miliar ini tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Apakah ini hanya salah paham atau ada hal lain? Kita tunggu saja klarifikasi resmi dari pihak berwenang.