Pepatah mengatakan: “Banyak anak, banyak rezeki.”
Sepertinya pepatah ini tak lagi relevan dalam kehidupan zaman millennial saat ini.
Akhir-akhir ini kita tak asing dengan istilah Childfree. Istilah tersebut menjadi salah satu istilah populer di media sosial dan hangat diperbincangkan. Berawal dari salah seorang pegiat media sosial sekaligus penulis yaitu Gita Syavitri bersama suaminya menyatakan bahwa mereka Childfree. Dari penyataan tersebut mengundang kaum intelektual mengkaji dan membahas mengenai Childfree.
Apa itu Childfree?
Mengutip dari CNBC Indonesia (2023/02/12) Childfree merupakan konsep yang diputuskan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka. Dikutip dari Oxford dictonary (2023/02/14), Childfree ialah suatu istilah yang digunakan untuk menekankan kondisi tidak memiliki anak karena pilihan. Dari kedua konsep mengenai Childfree di atas lebih mudahnya adalah keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak.
Tentunya keputusan untuk Childfree ini bukanlah suatu keputusan cuma-cuma yang dilakukan oleh pasutri (pasangan suami istri). Dalam hal ini, mereka harus memikirkan dalam jangka panjang demi keharmonisan rumah tangga yang akan mereka tempuh. Selain itu, ada beberapa faktor yang childfree dapat terjadi.
Menurut Tri Rejeki Andayani yang merupakan seorang psikolog dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelah Maret Surakarta mengemukakan pendapatnya bahwasanya yang menjadi pendorong seorang pasang suami istri mengambil keputusan untuk Childfree ialah faktor lingkungan, karir, kebebasan, keuangan, latar belakang keluarga, maupun faktor emosional. Ia juga menambahkan bahwa keputusan Childfree seringkali terjadi akibat adanya rasa keraguan akan kemampuan untuk merawat untuk merawat dan mengasuh anak yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pasangan suami istri. Sehingga pembekalan parenting pra nikah menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan.
Ada satu pernyataan yang sering dikutip oleh pasangan suami istri yang memutuskan untuk Childfree yaitu pernyataan dari Victoria Tunggono “Ketika seorang anak tidak mendapatkan pola asuh yang baik dari orang tua mereka, maka mereka akan bermasalah di lingkungan masyarakat”. Pernyataan tersebut sering kita jumpai pada mereka (Pasutri) yang menyatakan Childfree.
Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui dalam ajaran agama islam menganjurkan penganutnya untuk melangsungkan pernikahan, yang tujuannya tidak hanya memenuhi kebutuhan biologis saja, namun ada beberapa hikmah yang perlu kita perhatikan juga dalam suatu tujuan pernikahan tersebut. Imam as-Sarkhasi (wafat 483 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Mabsûth:
ثم يتعلق بهذا العقد أنواع من المصالح الدينية والدنيوية. من ذلك حفظ النساء و القيام عليهن. ومن ذلك صيانة النفس من
الزنا. ومن ذلك تكثير عباد الله تعالى وأمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وتحقيق مباهات الرسول صلى الله عليه وسلم بهم
Artinya “Akad nikah ini berkaitan dengan berbagai kemaslahatan, baik kemaslahatan agama atau kemaslahatan dunia. Di antaranya melindungi dan mengurusi para wanita, menjaga diri dari zina, di antaranya pula memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad saw, serta memastikan kebanggaan rasul atas umatnya.” (Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Masbshût, [Beirut, Dârul Fikr, 1421 H/2000 M], juz IV, halaman 349-350).
Menanggapi Childfree ini, menunjukkan adanya pergeseran nilai tentang memiliki seorang anak dalam kehidupan sosial. Lebih mudah, pasangan suami istri yang memutuskan Childfree secara tidak langsung menilai bahwa memiliki anak adalah beban, bukan lagi suatu karunia. Pada akhirnya, Childfree menunjukkan hilangnya fungsi keluarga. Sebagaimana kita ketahui, keluarga adalah salah satu unit terkecil dalam kehidupan masyarakat. Keluarga adalah salah satu pranata sosial yang memiliki fungsi tersendiri. Dalam hal ini, tentu keluarga Childfree tidak bisa melakukan fungsi keluarga dengan sempurna seperti sosialisasi, proteksi, ekonomi, afeksi, dan pemberian status. Childfree juga menunjukkan kesetaraan gender yang memiliki relasi egaliter, yang mana seorang perempuan dan laki-laki memiliki hak ataupun kesempatan yang sama dalam mengambil suatu keputusannya.
Selain itu, dalam perspektif teori konstruksi sosial yang ditokohi oleh Pater Berger. Teori ini dikonsepkan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interakasi individu atau sekelompok individu menciptakan suatu realitas yang terus-menerus dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan individu. Sehingga individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang mana dalam banyak hal memiliki kebebasan bertindak diluar batas kontrol dan pranata sosialnya.
Sedangkan Childfree merupakan hasil konstruksi sosial yang berawal dari ide subjektif hasil interaksi antar individu dengan individu lain maupun lingkungan sekitarnya. Sehingga dijadikan konsensus bagi pasutri (Pasangan suami istri) yang menyatakan Childfree. Akhirnya, Childfree menjadi sebuah realitas sosial dalam masyarakat. Jadi tidak bis pungkiri adanya fenomena Childfree dan akan menjadi tren tersendiri pada kehidupan Gen-Z saat ini.