Judul : Sedulur Papat Kalima Pancer: Ilmu Rahasia Kelahiran dan Kematian
Penulis : I Ketut Sandika
Penerbit : Javanica
Tahun : November, 2022
Tebal : 340 halaman
ISBN : 978-623-984-38-3-0
Spiritualisme Nusantara banyak memiliki spesifikasi, salah satunya persoalan kebatinan menurut orang Jawa. Hakikat seluruh eksistensi sebagai struktur energi dijelaskan dalam Sedulur Papat Kalima Pancer: Ilmu Rahasia Kelahiran dan Kematian karya I Ketut Sandika. Buku ini merupakan risalah leluhur Jawa tentang penciptaan pola-pola energi di bhawana alit (jagat kecil) dan bhawana agung (jagat raya).
Beberapa lontar yang membahas sedulur papat kalima pancer (secara harfiah berarti saudara empat, lima di pusat) menjelaskan bahwa tubuh manusia—yang merupakan jagat kecil—terhubung dengan jagat raya secara misterius. Seluruh kesatuan energi ini terikat pada sebuah jejaring besar tanpa terkecuali organ di dalam tubuh. Jiwa yang bersemayam dalam raga turut terkoneksi dengan daya-daya lainnya.
Energi yang memenuhi akasa sunya (ruang sunyi) disebut Guru Widhi Tunggal (Tuhan) sebagai penguasa yang esa. Energi ini kemudian menggerakkan energi bhuta (unsur material) agar terhubung dengan Guru Widhi Tunggal. Dalam lontar Kanda Pat Sanghyang, butha juga disebut Sanghyang Ibu Pertiwi atau Ibunta. Ketika dua energi ini bertemu, terjadilah unifikasi. Dari senggama tersebut, tercipta dengung maha dahsyat yang memenuhi akasa sunya. Suara primordial ini membentuk sebuah jejaring energi maha besar. Jejaring tersebut mempertemukan unsur-unsur material penyusun jagat raya. Namun, dalam Kanda Pat dijelaskan bahwa seluruh eksistensi fisik sesungguhnya tercipta dari senggama Sanghyang Bapa Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi.
Proses senggama itu terjadi karena Sanghyang Bapa Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi beradu pandang sehingga menimbulkan rasa cinta. Mata manusia adalah tempat kekuatan surya dan candra. Ketika membuka mata, kita akan melihat cahaya dengan jelas melalui surya, sedangkan saat menutup netra, kita juga dapat melihat cahaya di balik kegelapan raga melalui candra. Maka, sejatinya kita selalu bisa melihat cahaya, yakni sinar terang dan remang. Mata kita menyimpan kekuatan dahsyat yang disebut cahaya tunggal (pandangan gaib). Ketika membuka mata, kita terhubung dengan pengetahuan semesta luar. Sementara itu, saat terpejam, kita akan terkoneksi dengan pengetahuan batin.
Energi sedulur papat tersimpan di rahim ibu (kamala sakti). Kamala tersusun dari kata kama dan kala. Kama artinya nafsu dan kala berarti rahim ibu yang mewadahi kama. Sakti merujuk pada kekuatan berwujud api di dasar tubuh sebagai penggerak emosi. Ketika bapa dan ibu hendak bersenggama, pola energi sedulur papat mengalami pembelahan yang menjadi Kakang Kawah (ketuban), Getih (darah), Adhi Ari-Ari (plasenta), dan Puser Lamas (tali pusar selaput janin). Dalam persenggamaan tersebut, kama phetak (sperma) dan kama bang (ovum) berada dalam kondisi puncak. Keduanya karib dengan jenama Kamajaya dan Kamaratih. Setelah Kamajaya (bapa) berjumpa Kamaratih (ibu), nama mereka berubah Siddhi-rasa dan Siddhi-sakti. Keduanya menyatu dalam rahim ibu. Proses tersebut dikenal dengan nama panunggalan si putra lan si putri bang.
Proses kelahiran Rare Cili (bayi) tersebut dijelaskan oleh penulisnya dengan begitu detail. Saat terlahir beserta keempat saudaranya, seorang bayi menangis. Ia sedih karena akan berpisah dengan para saudaranya yang tak lagi berwujud fisik, tetapi kembali menjelma energi.
Sang bayi merupakan pancer (pusat) bagi keempat saudaranya. Saat usia 1-2 bulan, sedulur papat menguji kekuatan bayi supaya mampu bertahan hidup. Mereka memberi penyakit kepada sang bayi. Keempat saudara tidak lagi melihat manusia cilik itu sebagai pusat, melainkan musuh yang harus diuji. Ujian tersebut dijatuhkan sedulur papat agar manusia tahu bahwa hidup begitu keras dan penuh tantangan.
Sandika mencatat bahwa ajaran ini menuntun kita untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: Siapakah diri kita sebenarnya? Dari mana kita tercipta? Apa tujuan kita lahir? Seperti apa kematian itu? Ke mana jiwa kita pergi setelah ajal menjemput? Selain menuntun bayi saat dilahirkan ke dunia, sedulur papat juga membimbing manusia menuju maut. Sebab ajaran sedulur papat berpuncak pada kematian/pelepasan utama untuk manunggal paraning dumadi.
Disebutkan dalam Tutur Mahayukti bahwa untuk mencapai pelepasan, jiwa membutuhkan kelahiran berulang-ulang. Selama belum sepenuhnya terhubung dengan sedulur papat, jiwa tak akan dapat melewati jalan pelepasan utama. Jiwa yang mendiami jasmani terikat kekuatan bayu. Pelepasan dapat dialami setelah meluruhkan energi bayu melalui sedulur papat. Para leluhur mengodekan energi bayu ke dalam aksara-aksara rahasia yang mempresentasikan keberadaan sedulur papat. Aksara-aksara itu disebut sarining bayu (sari bayu) yang menyusup ke jagat kecil dan jagat besar. Aksara ini juga disebut tali jiwa. Pelepasan dilakukan untuk mengetahui letak aksara-aksara tersebut dan untuk mengurai tali-tali jiwa dengan mengembalikannya ke muasal masing-masing.
Angka empat sebagai struktur falsafah Jawa sedulur papat sering muncul dalam kosmologi di banyak kebudayaan. Ia menjadi angka sakral. Empat mewakili seluruh titik mata angin dalam geometri suci (mandala) yang dipercaya di banyak kultur Timur. Empat adalah jumlah sudut dasar sebuah mandala. Keempat unsur ruang ini ditarik menuju sebuah pusat (axis mundi).
Sedulur Papat Kalima Pancer karya Sandika barangkali menjadi karangan paling komprehensif tentang filosofi sangkan paraning dumadi. Ia melengkapi filsafat rasa yang menjadi dasar cara pandang manusia Jawa tentang dunia. Ditulis dengan bahasa lugas, mengalir, dan dilengkapi glosarium, buku ini mudah dipahami tidak hanya oleh orang-orang Jawa, tetapi pembaca non-Jawa.
*) Tulisan Resensi ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi suaranet.id