Oleh: Ikrar Izzul Haq
Judul : Entrok
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : April, 2021 (cetakan kelima)
Halaman : 288 halaman
Gagasan feminis dalam novel ini kentara sejak pada judulnya; Entrok. Istilah entrok (BH tradisional)mungkin terasa asing bagi sebagian pembaca, sehingga harus memulai pembacaan dari hasil pencarian di Google. Berangkat dari pengetahuan sederhana itulah pembaca ditarik menuju bangun dunia novel berikut dengan kondisi dan situasi di dalamnya. Meski entrok adalah barang yang lazim dijumpai—paling tidak di jemuran—kenyataannya benda tersebut merupakan wujud kemewahan bagi seorang perempuan pada masa dan masyarakat tertentu. Dalam novel ini, Jawa pelosok.
Entrok tidak menjadi hal yang selalu hadir dalam setiap babak. Ia hanya muncul pada titik awal sebagai pemantik jalannya cerita; ketika Marni melihat Tinah memakai benda tak lazim itu untuk melindungi payudaranya. Setelah bertanya dan mendapat cibiran, Marni tahu mengapa ia tak menggunakannya. Entrok terlalu mahal untuk sebuah barang yang enggak guna-guna amat bagi masyarakat pada saat itu. Namun, Marni sudah telanjur FOMO. Ia akan melakukan apapun demi payudaranya yang mulai tumbuh dipeluk entrok.
Pertama-tama yang Marni butuhkan untuk membeli entrok adalah uang. Saban hari ia membantu ibunya mengupas singkong di pasar, tempat uang berputar. Namun uang bukan untuk perempuan pengupas singkong. Pekerjaan itu terlalu remeh untuk dibayar dengan rupiah. Akhirnya Marni banting setir melawan tabu dengan menjadi buruh angkut. Dari pekerjaan itu ia mendapat rupiah pertama dan terus berlipat ganda. Ia putar uangnya agar terus menghasilkan. Mulai dari berdagang sayur, perabot, hingga uang itu sendiri Marni lakukan. Atas usaha-usaha itu ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Pada akhirnya tak cuma entrok yang ia dapatkan. Rumah dan mobil pun mampu Marni beli.
Dari sini mulai muncul masalah. Tentara mulai sering bertamu ke rumah Marni meminta upeti. Uang keamanan katanya. Namun Marni tidak dapat berbuat banyak sebab para tentara itu ‘orang pemerintah’ yang punya kuasa. Melawan berarti celaka. Di sisi yang lain masalah yang dihadapi Marni datang dari keluarganya sendiri. Rahayu, anak semata wayangnya yang fanatik agama tak menyukai keyakinan ibunya. Ia melabeli ibunya syirik karena tak sesuai dengn ajaran Islam dan kerap mengadakan selamatan ebagai bentuk terima kasih kepada leluhur. Sedangkan Teja, suaminya adalah seorang mokondo yang pengecut. Teja hanya tahu mabuk dan bergaul dengan biduan. Ketika rumahnya didatangi tentara, ia cuma iya-iya saja tanpa ada perlawanan. Alih-alih datang dan sekali beres, masalah yang dihadapi Marni muncul silih berganti dan bertubi-tubi.
Peliknya kehidupan yang dijalani Marni dihadirkan dengan sudut pandang pencerita yang berubah-ubah. Dari Marni dan Rahayu. Teknik penulisan tersebut digarap dengan cukup baik. Pembaca dapat langsung mengenali pada perspektif siapa cerita sedang berlangsung. Walaupun bahasa secara keseluruhan dalam cerita cenderung b aja, faktor dominan dari keberhasilan teknik penulisan tersebut terdapat pada gaya bahasa yang digunakan oleh tokoh. Lebih-lebih ketika cerita berada pada sudut pandang Marni dewasa. Nuansa cerewet, dialek, dan bahasa daerah membuat pembaca seketika tahu bahwa yang tengah berkisah adalah ibu-ibu Jawa; si Marni.
Berkaitan dengan bahasa, disertakan pula catatan kaki yang menjelaskan arti dari lema bahasa Jawa. Kendati demikian, mungkin saja adanya lema-lema tersebut menjadi gangguan bagi pembaca non Jawa. Terlebih jika membaca versi digital cetakan kelima novel Entrok, seluruh catatan kaki diletakkan di bagian akhir buku. Tentu akan sangat merepotkan jika harus bolak-balik ke halaman belakang. Bisa saja pembaca memilih bodo amat atas kata-kata yang hanya sepenggal itu dan pada tidak memahami kisah Marni dan Rahayu secara utuh. Padahal ada beberapa hal penting dalam Entrok yang patut menjadi perhatian bersama, khususnya soal keperempuanan.
Tokoh-tokoh lelaki dalam Entrok terbaca sebagai simbol patriaki yang negatif. Mulai dari Teja, suami Marni, yang hampir tidak berkontribusi apapun dalam rumah tangganya. Teja hanya menambah beban yang ditanggung Marni bahkan setelah ia mati; ketika seorang biduan menggandeng anak kecil datang ke makam Teja dan menuntut pembagian harta warisan. Selain itu simbol negatif yang amat terang adalah tentara-tentara sebagai ‘orang pemerintah’ yang seringkali menarik upeti dan seenak jidat menggunakan kuasanya. Marni sebagai seorang perempuan yang hidup berdekatan dengan para lelaki benalu ini mampu bertahan. Dengan segala usaha yang dilakukan, ia berdikari mempertahankan derajat dan martabatnya sebagai perempuan, kepala rumah tangga, dan ibu.
Sejak awal, Marni hidup hanya berdua dengan Simbok, ibunya. Tidak ada sosok ayah. Kondisi itulah yang mungkin membuat Marni bisa mengusahakan kesejahteraan hidupnya sendiri beserta keluarganya tanpa bergantung pada laki-laki. Bahkan ia berani melawan tabu bahwa buruh angkut hanya untuk kaum lelaki. Hal itu dilakukannya demi hak upah yang lebih layak—seperti yang disuarakan para aktivis feminisme gelombang kedua.
Dari cerita Marni dalam novel ini pembaca dapat belajar dan merenungkan kembali makna feminisme yang makin ke sini makin ke sana. Feminisme Marni lahir dari gumpalan kecil dan bergulung membesar berkali-kali lipat menjadi sesuatu yang heroik, setidaknya untuk dirinya sendiri.
*) Ikrar Izzul Haq adalah pembaca sastra.
*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi SuaraNet.id