Ditulis oleh Putriyana Asmarani
Judul : What Maisie Knew
Penulis : Henry James
Penerbit : Wordsworth Classics
Tebal : 222 halaman
ISBN : 978-1-84022-412-2
Tahun terbit : 2002
What Maisie Knew, kalau saya terjemahkan dengan kasar, ‘Apa yang Diketahui Maisie’ mengangkat permasalahan domestik yang sangat pelik dalam era Victoria. Karya Henry James yang paling detail daripada karya lainnya ini mengangkat isu Hukum Kekeluargaan dan Perceraian di Inggris tahun 1890. Dalam teori, Era Victoria ini dimulai sejak Ratu Victoria naik takhta hingga turunnya ia dari takhta, tahun 1837-1901. Namun bagi saya, bermacam pergerakan yang digagas dalam era ini, para korban, hingga efek-efek dari kebijakan negara tertentu tidak berhenti sampai 1901.
Pada tahun 1880an, pergerakan feminisme perlahan menemui titik terang karena perjuangan dari era-era sebelumnya dan maraknya gagasan pembaharuan di Era Victoria. Titik paling signifikan adalah adanya perubahan aturan dalam undang-undang perceraian yang juga dibahas dalam novel ini. Sebelumnya, perempuan tidak berhak mendapatkan apapun secara material setelah bercerai, seperti yang dijabarkan dalam sebuah riset karya Eleanor Gordon and Gwyneth Nair, Public Lives: Women, Family and Society in Victorian Britain (2003).
Perubahan tersebut semestinya memberikan ketenangan dan keuntungan untuk pihak yang selalu dirugikan. Namun ada satu hal yang terlewatkan. Satu permasalahan yang membawa korban hingga melampaui Era Victoria, permasalahan yang belum diangkat oleh penulis lain di Era Victoria hingga mungkin sampai saat ini, Henry James membeberkan, mengulik, dan menunjukkan ‘inilah korban yang terlewatkan dalam masa perjuangan kita semua’. Ini ada dalam What Maisie Knew.
Latar Kisah
Dalam pengadilan, berakar dari kata ‘adil’, sayang justru di ruang semacam ini orang tidak tengah berkelahi soal keadilan yang semestinya. Dengan jargon ‘menguntungkan kedua belah pihak’, pertengkaran justru semakin membabi buta. Ini mungkin umum terjadi dalam sidang-sidang perceraian. Di ruang pengadilan, di sini lah narasi What Maisie Knew bermula. Berada di antara dua orang tua yang berkelahi dengan brutal secara verbal, di hadapan hakim yang akan memutuskan ‘keuntungan untuk kedua belah pihak’, Maisie ‘poor little monkey’ begitu kata Sang Ibu (Mrs. Farange), ia masih terlalu polos untuk mengerti konflik orang dewasa.
Dalam sidang yang tak kunjung usai, dalam sebuah keputusan sementara, hak asuh Maisie tidak dibebankan pada ayah atau ibunya. Namun keduanya harus bergantian mengurus Maisie, setelah enam bulan pasangan lain harus bergantian mengasuh. Sang penulis, Henry James dengan satirnya bilang bahwa inilah keadilan model ‘Nabi Sulaiman’ yang dianggap imbang dan memuaskan, suatu kesamarataan. Semestinya ini cukup adil untuk ayah atau ibu Maisie, tapi mereka malah semakin geger.
Konflik penyulut dalam novel ini ada dalam situasi ketika keadilan model Nabi Sulaiman membuat Meisie merasa bahwa ia adalah sebongkah batu kecil yang membuat kedua orang tuanya terperosok ke dalam jurang. Dalam enam bulan dia seolah-olah akan jadi beban sang ibu, lalu enam bulan selanjutnya akan dilemparkan ke rumah ayahnya, menjadi beban juga di sana. Ia merasa bersalah untuk menjadi sebuah kenyataan yang tidak diinginkan kedua orang tuanya, ia masih terlalu muda untuk sebuah kesadaran soal dua orang tua yang seharusnya melakukan tanggung jawab sebagai orang tua.
Yang lebih parah, antara ibu atau ayah Maisie, keduanya menganggap satu sama lain adalah hama atau barang najis. Ikatan mereka semakin runtuh karena kebencian tidak logis, misalnya, kalau Maisie tinggal bersama ibunya, mereka akan bersentuhan, Maisie bakal terkontaminasi, nanti dia jadi barang haram jadah. Tentunya, mereka tidak setuju dengan peraturan enam bulan bergantian mengasuh. Konflik semacam ini terus berkelanjutan dan terasa takkan sampai pada sebuah kesepakatan.
Konflik ini merambat pada konflik-konflik lainnya. Masa di mana Maisie harus berpindah tangan adalah (menurut saya) yang paling tragis dan menyusahkan. Di bagian-bagian tertentu sebelum puncak dari segala konflik, saya sudah dibuat berkali-kali menggosok kening karena mengundang kegusaran dan kejengkelan tertentu. Dalam posisi Maisie, anak belum genap 10 tahun berada dalam situasi semacam ini, tidak ada penolong bagi dia. Tidak ada ibu peri karena ini novel realis, ia belum baligh dan berakal untuk mencapai tingkat spiritual tertentu untuk minta bantuan pada Tuhan misalnya, sungguh, tidak ada siapapun kecuali dirinya sendiri.
Salah satu contoh permasalahan yang pahit menggigit dialami oleh Maisie adalah ketika ia dipakai sebagai pembawa pesan pada kedua orang tuanya, misalnya ‘bilang pada ibumu begini’ atau ‘bilang pada ayahmu begini’. Keadaan ini cukup traumatis, karena seakan-akan mereka melibatkan Meisie untuk memperburuk hubungan mereka. Yang lebih dramatis adalah Meisie merasa bersalah karena itu, ia terlalu polos untuk memahami isi pesan yang disampaikan kedua orang tuanya, ia belum cukup umur untuk mengerti makna dari kata-kata tertentu.
Yang Hampir Tak Dipedulikan dalam Sastra Perceraian
Di Indonesia marak sekali novel atau film yang mengusung isu-isu perceraian atau poligami. Dengan bermacam gaya, dari berbagai latar tempat, melalui beragam sudut pandang, menurut saya sedikit sekali yang mengambil perspektif dari sudut pandang sang anak. Di masa yang sama, yaitu Era Victoria, selain masalah realisme industri, ada beberapa penulis kondang yang mengangkat isu perceraian, misalnya Charles Dickens dan George Eliot. Namun, keduanya terfokus pada pihak yang tengah bercerai atau kehidupan anak setelah perceraian.
Henry James dalam What Maisie Knew fokus terhadap sudut pandang anak. Ini, menurut saya telah mengisi kesenjangan besar dalam permasalahan sosial pelik yang hampir terlewatkan. Henry James menjabarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu yang muncul secara psikologis yang diderita oleh Maisie akibat pertengkaran kedua orang tuanya. Bagi saja, ini kondisi yang sangat tidak adil dan tidak aman untuk Maisie, karena sangat disayangkan apabila seorang anak menderita gangguan psikologis tertentu yang disebabkan oleh orang tuanya sendiri.
Narasi ini tidak berhenti pada konflik apa saja yang dihadapi Maisie tentang kedua orang tuanya dan kondisi psikologisnya, tapi juga bagaimana sikap orang lain terhadap anak-anak yang menderita karena perpecahan dalam rumah tangga. Bahkan sampai perbedaan gender, dalam artian, bagaimana orang dewasa laki-laki atau perempuan memperlakukan Maisie ternyata berbeda. Dalam titik tertentu, Henry James menggunakan analogi Maisie berada di sebuah lorong panjang penuh pintu tertutup, dan Maisie tahu tidak ada pintu yang dapat diketuknya.
Soal sudut pandang, menurut saya, novel ini tidak memberikan tempat pada satu pun kealpaan, semua yang berkenaan dengan kondisi Maisie dijabarkan dengan analisis yang memuaskan. Setiap aspek disebutkan, setiap perubahan, setiap langkah, dan seluruh pilihan yang membuat Maisie bimbang tersampaikan dengan berurutan.
Dari bermacam tragedi domestik, hingga undang-undang hak asuh tahun 1839 (yang kemudian menjadi pondasi penting bagi perkembangan hak asuh selanjutnya), intonasi yang digunakan Henry James penuh dengan tekanan. Bagi saya, ia benar-benar ingin menunjukkan bahwa anak adalah korban yang jarang dibicarakan dan bahkan masih menjadi pihak yang tidak beruntung di bawah naungan undang-undang.
Edisi Wordsworth Classics mencantumkan beberapa isu-isu sosial yang melatarbelakangi penulisan What Maisie Knew. Salah satu isu tersebut adalah sekitar tahun 1800an banyak anak-anak terlantar, banyak juga anak-anak yang dijual oleh orang tua mereka untuk prostitusi, ada yang harus menjadi buruh pabrik, dan lain sebagainya. Henry James menguliti masalah ini dari inti, dari sebuah keluarga, tentunya sebuah ruang untuk seorang anak tumbuh dan berkembang.
*) Penulis adalah Putriyana Asmarani, tulisannya tersebar di beberapa media nasional, antara lain di Media Indonesia.