Meningkatnya pemanasan global menjadi tantangan terbesar abad ini. Bencana iklim seperti banjir, kebakaran hutan, hingga kekeringan terjadi dimana-mana dan berdampak pada semua lini kehidupan termasuk sumber daya pangan. Pengungsi akibat bencana iklim tersebar di sekitar kita. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan iklim juga dipicu oleh aktivitas manusia dan sistem ekonomi yang eksploitatif. Emisi karbon dari eksploitasi alam, penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas, hingga penebangan hutan telah merusak keseimbangan ekosistem bumi. Bencana yang terjadi di seluruh dunia–termasuk Indonesia–menunjukkan bahwa kita sudah menghadapi darurat iklim dan sudah sepatutnya kita segera meresponsnya dengan aksi nyata.
Membahas isu perubahan iklim ini, lebih dari 100 pemimpin negara di dunia berkumpul di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) ke-27 yang digelar di Sharm El Sheikh International Convention Centre (SHICC) Mesir, pada 6 hingga 18 November 2022. Dalam acara pembukaan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin hadir mewakili Presiden Joko Widodo untuk memimpin Delegasi Republik Indonesia.
Saat berpidato dalam forum dunia tersebut pada 7 November kemarin, Ma’ruf memaparkan target penurunan emisi sebagaimana disampaikan dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada September 2022. Dalam NDC baru, pemerintah berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca dari sebelumnya 29 persen menjadi 31,89 persen secara mandiri. Adapun dengan bantuan internasional, pemerintah meningkatkan target penurunan emisi karbon dari 41 persen menjadi 43,2 persen. Target NDC tersebut dibangun berdasarkan beberapa kebijakan pemerintah setahun terakhir di sektor-sektor penghasil emisi terbesar, seperti FoLU atau forest and other land uses (sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya) dan energi.
Isu yang dibawa Pemerintah Indonesia pada forum itu mendapat sorotan dari Satya Bumi. Organisasi kampanye lingkungan yang mengambil langkah advokasi untuk melindungi hutan Indonesia dan ekosistem alam yang vital dengan mendorong penghormatan dan perlindungan HAM.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati menyebut isu yang dibawa pemerintah Indonesia cukup krusial. “Namun, dokumen peningkatan target NDC Indonesia memiliki sejumlah opsi kebijakan problematik,” ujar Annisa Rahmawati dalam keterangannya, Selasa, 8 November 2022.
Di sektor energi, misalnya, pemerintah mengandalkan penurunan emisi dari program bahan bakar nabati B40 dengan kandungan 40 persen minyak sawit untuk campuran solar. Namun Annisa menekankan masih banyak pekerjaan rumah dalam tata kelola sawit kita yang harus dibenahi, termasuk standar lingkungan dan sosial sawit yang memastikan tidak ada perluasan lahan sawit baru di tutupan hutan dan gambut, serta memastikan keadilan bagi masyarakat, transparansi pelibatan petani kecil sawit mandiri dalam sistem dan pengelolaannya. Begitu pula untuk kendaraan listrik, salah satu yang perlu disorot adalah kegiatan pertambangan nikel untuk baterainya harus dipastikan tidak merampas ruang hidup rakyat dan mencemari lingkungan.
Langkah lain yang dilakukan pemerintah yakni melakukan pemensiunan dini PLTU batubara. Annisa mendukung strategi ini dan mempercepat pengalihan kepada energi terbarukan. “Namun jangan sampai yang muncul hanya solusi-solusi palsu, seperti co-firing biomassa di PLTU dan B40 yang justru berpotensi memperparah krisis iklim,” ujar dia.
Namun dengan adanya Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres EBT) justru masih memberikan ruang bagi PLTU beroperasi sampai 2050. Dengan kata lain, proyek PLTU masih akan terus berjalan dan menambah emisi hingga beberapa tahun ke depan.
“Hal ini tidak sesuai dengan situasi kedaruratan yang kita hadapi saat ini. Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen mengatasi perubahan iklim melalui transisi energi, penggunaan batubara seharusnya sudah mulai dihentikan bertahap atau phaseout secepatnya, tidak bisa menunggu 2050 seperti yang dilakukan negara-negara lain,” ujar Annisa.
Annisa menegaskan, komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim harus segera diejawantahkan dengan langkah-langkah nyata seperti mitigasi, adaptasi, serta mempersiapkan pendanaan. Mantan Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia ini mengapresiasi pernyataan Ma’ruf yang mendesak negara-negara maju untuk menggandakan penyediaan pendanaan iklim kolektif mereka untuk adaptasi iklim di negara-negara berkembang. Hal tersebut dapat diperkuat melalui peta jalan yang konkret, termasuk pengaturan pendanaan pada kerugian dan kerusakan (loss and damages) yang akan didirikan berdasarkan Kerangka Kerja UNFCCC.
“Dengan demikian, seluruh stakeholder termasuk sektor swasta juga mesti berkontribusi, korporasi juga harus diminta pertanggungjawaban atas emisi yang dikeluarkannya. Jadi bebannya tidak hanya pada negara, tetapi semua pihak turut terlibat,” ujar dia.
Banyak komoditas yang berisiko terhadap hutan dan ekosistem yang diperdagangkan secara global, seperti kedelai, sapi, kulit, minyak sawit, kakao, dan karet sejauh ini merupakan kontributor terbesar dari emisi gas rumah kaca yang memperburuk krisis iklim. Perubahan dan transformasi rantai pasokan yang menyeluruh sangat mendesak diperlukan. Penghentian deforestasi dan alih fungsi ekosistem alami serta keterlacakan dan pemantauan sampai ke tingkat produsen paling bawah adalah inti dari transformasi komoditas agribisnis.
Selain itu, kunci percepatan transisi energi, ujar Annisa, tergantung pada kemauan politik pemerintah.”Saat ini sudah darurat iklim, kita tidak butuh ‘bla bla bla’ komitmen lagi. It’s time to act. Kolaborasi semua pihak juga sangat dibutuhkan, termasuk sektor swasta yang berkomitmen melindungi hutan (NDPE) juga harus ditagih janjinya. Seluruh masyarakat pasti akan turut serta mendukung langkah nyata pemerintah dan sektor swasta”.
Upaya Mitigasi Krisis Iklim Harus Mengedepankan Prinsip HAM
Presidensi COP27 Mesir telah menetapkan visi ambisius yang menempatkan kebutuhan manusia di jantung upaya global dalam mengatasi perubahan iklim. Presidensi telah memusatkan perhatian dunia pada elemen-elemen kunci yang memenuhi beberapa kebutuhan paling mendasar dari orang-orang di mana pun, termasuk ketahanan air, ketahanan pangan, kesehatan, dan ketahanan energi.
Menanggapi visi dari COP27 yang disampaikan UN Climate Change Executive Secretary dalam pidatonya kemarin, Deputi Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien menekankan bahwa elemen-elemen kunci tersebut sebagai bagian dari hak-hak asasi yang terdampak dari krisis iklim.
Oleh karena itu, tegasnya, upaya-upaya mitigasi krisis iklim, perlindungan hutan, dan pelaksanaan transisi energi harus dilaksanakan dengan nilai-nilai yang akuntabel, transparan dan partisipatif, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM. “Terutama melindungi kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat terdampak termasuk masyarakat adat,” ujar dia.
Dalam skema perdagangan karbon yang dicanangkan pemerintah misalnya, Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, negara mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik sah dan berkuasa penuh atas karbon, menihilkan hak masyarakat adat yang selama ini telah menjaga hutan dan wilayah adat dengan taruhan nyawa.
Andi berharap, ke depan, tidak hanya sumber energinya yang berubah, tetapi juga pola-pola pembangunan secara keseluruhan. Partisipasi publik harus dibuka sejak proses perencanaan sampai implementasi untuk memberikan partisipasi bermakna. Selain itu, pola perizinan dan pengadaan lahan yang dilakukan untuk proyek-proyek strategis nasional harus dievaluasi.
“Jangan sampai janji-janji pembangunan berkelanjutan dan transisi energi adil hanya diumbar, tapi implementasinya jauh panggang dari api. Terlebih dengan adanya UU Cipta Kerja yang semakin menegasikan lingkungan dan ekonomi yang lestari serta urgensi mitigasi perubahan iklim,” ujar mantan Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ini.