Sumenep, SuaraNet– Abul Khair, warga Desa Errabu, terkejut bukan kepalang saat mendengar kabar tanah warisan leluhurnya di Dusun Bara’ Leke, Desa Errabu, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur telah berganti kepemilikan menjadi aset pemerintah Desa Errabu. Padahal, tanah tersebut sudah dikelola keluarganya selama puluhan bahkan ratusan tahun sejak almarhum kakeknya.
Merasa tak punya kuasa apapun, Abul Khair saat itu pasrah pada klaim sepihak pemerintah desa. Meski dia tetap penasaran dan tak habis pikir tanah warisan yang seharusnya dia kuasai bersama kedua adiknya beralih kepemilikan menjadi tanah percaton.
“Saat itu saya pasrah saja meski tetap penasaran kok baru sekarang diklaim sebagai tanah percaton, padahal lahan ini kan sudah ratusan tahun dikelola keluarga saya,” kata Abul saat dihubungi via telepon Jumat (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekian lama Abul berusaha mencari jejak bukti kepemilikan lahan tersebut, berkonsultasi dan menemui banyak pihak, akhirnya ia menemukan dokumen lama berupa letter C, lengkap dengan dokumen SPPT tahun 2009. Dalam dokumen tersebut jelas termaktub bahwa lahan tersebut masih atas nama Almarhumah Ibunya, Atun Tawali alias Mamduhah.
Bak cahaya di ujung terowongan, dua dokumen lawas ini memberi energi bagi keluarga Abul Khair untuk mempertahankan hak-haknya yang diduga telah dirampas para penguasa desa.
Pengacara rakyat, Sulaisi Abdurrazaq, menduga pemerintah desa telah memusnahkan dokumen letter C lama serta mengubah status pembayar pajak serta kode tertentu pada SPPT PBBnya. Pasalnya, kasus seperti ini, kata Sulaisi, kerap terjadi di banyak desa lainnya.
“Yang paling mungkin, letter C sebagai salah satu bukti kepemilikan tanah milik warga dimusnahkan atau dirubah sendiri sesuai kehendaknya. Karena pemilik tanah tidak pegang letter C. Pajaknya pun desa yang bayar,” kata Sulaisi dalam surat terbukanya yang beredar di banyak media, Kamis (30/5).
Atas desakan klien-nya, Sulaisi pun berencana melaporkan Kades Errabu Hafidatin ke aparat penegak hukum, bukan hanya terkait klaim sepihak atas tanah, tapi juga soal dugaan penyerobotan, pengrusakan serta pemangkasan pohon yang ada di atas lahan milik Abul.
Menurut Sulaisi, langkah Pemdes Errabu mengeksekusi lahan secara sepihak merupakan tindakan dzalim dan semena-mena. Tindakan nir-adab, mengesampingkan aspek moral etik, terlebih menjurus ke pelanggaran hukum dalam menjalankan pemerintahan, kata Sulaisi, tak bisa dibiarkan.
“Segera kami laporkan tindakan dzalim tersebut,” tegasnya.
Para pekerja yang mengeksekusi lahan Abul, kata Sulaisi, merupakan pemegang kuasa dari kades, sehingga pelanggaran yang dilakukan para pekerja merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa.
“Mereka yang menebang itu adalah perintah dari kades selalu kepala pemerintahan tertinggi di desa. Karena itu perintah, maka mereka sebenarnya adalah kuasa dari desa. Kalau pemegang kuasa itu melakukan pelanggaran, maka yang bertanggung jawab adalah pemberi kuasa,” jelas Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Jawa Timur itu.
Sementara itu, Kepala Desa Errabu Hafidatin menampik tuduhan tersebut, dia mengaku tidak melakukan klaim sepihak terhadap lahan milik Abul Khair. Dia mengklaim instansinya memiliki alat bukti yang bisa memperkuat lahan tersebut sebagai tanah percaton.
Namun, saat perempuan berhijab itu diminta untuk menunjukkan alat bukti tersebut, dia beralasan berkasnya ada di kediamannya. ”Sejak awal tanah itu memang milik desa, bukti-buktinya ada,” terangnya saat ditemui di balai desanya.
Meski begitu, Hafidatin mengaku siap jika ingin dilaporkan kepada aparat penegak hukum. ”Silahkan dilaporkan, saya sudah biasa dipanggil Inspektorat dan kejaksaan Sumenep,” tantangnya.