Pamekasan, SuaraNet—Tak mau kalah, Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PCNU Pamekasan Divisi Sastra mengawali peringatan 100 Tahun A.A. Navis di Indonesia. Peringatan hari kelahiran ke-100 sastrawan Minang itu ditaja oleh UNESCO.
Acara tersebut dikemas dalam Mimbar Budaya 12, sebuah gelar rutinan yang dilaksanakan Lesbumi PCNU Pamekasan. “Mungkin ini pertama kalinya acara yang memperingati 100 tahun A.A. Navis di Indonesia,” ucap Royyan Julian (34), pengurus Lesbumi PCNU Pamekasan ketika membuka acara. Mimbar Budaya kala itu akan mendiskusikan perjalanan hidup dan karya-karyanya.
Digelar di Kafe Manifesco, Jalan Raya Jalmak pada Kamis (16/05) pukul 19.00 hingga 22.00 WIB, majelis tersebut diberi tajuk “Navis, Hidup, dan Cerita-Ceritanya”. Lesbumi PCNU Pamekasan mengundang dua pembaca muda, yaitu Wardedy Rosi (21), mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura dan Ikrar Izzul Haq (22), mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rosi mengungkap bahwa dalam perjalanan hidupnya, Navis memerankan diri sebagai seorang sastrawan, jurnalis, dan sempat menjabat sebagai anggota dewan perwakilan rakyat. Ada sejarah suram saat Navis menjadi redaktur di Radio Republik Indonesia. Navis adalah seorang pekerja keras yang seringkali mencoba hal-hal baru. Kedatangan tamu dari UNESCO mendorong Navis menekuni budaya Minangkabau untuk membantu lembaga PBB tersebut yang tengah menjalankan penelitian di Sumatera Barat. Tungkus lumus dalam budaya Minang tentunya memberi roh pada karya-karyanya.
Sementara itu, saat memaparkan cerpen-cerpen Navis, Ikrar berkata bahwa pembaca Indonesia cenderung pragmatis. Hal-hal abstrak dianggap terlalu tinggi. Maka, karya-karya realislah yang banyak diciptakan para pengarang Indonesia. Hal itu sekaligus menjawab mengapa fiksi-fiksi Navis tidak menggunakan bentuk-bentuk eksperimental.
“Membaca Navis adalah membaca satire,” terang Ikrar. “Nyinyir menjadi ciri yang melekat dalam karya-karyanya. Navis terkenal sebagai pencemooh nomor wahid. Isi cerpen-cerpen Navis banyak menggaungkan perihal egoisme dan moralisme. Bentuk yang ditawarkan fiksi-fiksinya adalah cerita berbingkai. Cerita berlapis inilah estetika karya-karya Navis.”
Bagi Ikrar, puncak karya Navis, yaitu “Robohnya Surau Kami” dengan alasan bentuk dan isi yang menjadi karakter sastrawan kelahiran 17 November 1924 itu hadir penuh seluruh dalam cerpen tersebut. Rosi mengaminkan pendapat Ikrar dengan menambahkan novel Kemarau sebagai masterpiece-nya juga.
Dialog sastra yang berlangsung selama dua setengah jam tersebut dihadiri kebanyakan mahasiswa yang belajar sastra Indonesia. “Acara ini bagus sekali untuk memberi pengayaan tentang sastra dan kritik sastra Indonesia, khususnya bagi kami yang sedang belajar sastra Indonesia di kampus,” aku Ade Agustian (21) sebagai audiens. “Detail materi yang disuguhkan kedua pembicara juga tidak kami dapatkan di bangku kuliah,” tambah Ratna Widya (22) yang juga hadir pada acara tersebut.
*)Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura.
Penulis : Samroni