Oleh: Samroni
Kawan-kawannya memanggil pria ini Rofiq. Ainur Rofiq Hafsi lahir dari keluarga bersahaja. Ia digempur aneka aral saat belajar di perguruan tinggi. Ia menerima ilham dari orang-orang melarat yang mampu menuntaskan kuliah. Juga, dari dosen-dosen yang sempat mengajarnya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura (Unira).
Di Asta Rabah, Kabupaten Pamekasan, ia membuka mata pertama kali pada 5 Juni 1990. Takdir membawanya berkuliah di Unira saat ekonomi keluarganya dalam situasi terpuruk. Kedua orangtuanya sudah tak berpenghasilan. Sementara itu, kakaknya sedang menempuh pendidikan sarjana di Universitas Negeri Malang. Karena pendidikan Rofiq masih setengah jalan, orangtuanya terpaksa menjual satu-satunya kendaraan milik keluarga.
Mengingat kondisi ambruk ekonomi keluarganya, Rofiq sempat ingin berhenti kuliah. Tapi, kegigihannya untuk menggapai cita-cita lebih besar ketimbang kata ‘menyerah’. Untuk mengatasi ekonomi sulit, ia bergulat dengan kerja apa saja, seperti menjadi guru honorer dan asisten dosen, bahkan menjajakan es krim milik pamanya ke sekolah-sekolah. Kesibukan itulah yang membuatnya harus kuliah di kelas malam pada akhir semester. Penghasilan yang tak seberapa itu ternyata cukup membantunya menamatkan pendidikan. Bahkan, pria tampan nan gemoy ini sukses menjadi mahasiwa terbaik di angkatannya.
Tapi, hidup masih ingin mencobainya. Gelar magister ia peroleh dari Universitas Islam Malang pada 2016, lalu diangkat sebagai staf pengajar di Unira. Saat menempuh pendidikan di Malang, ia merasa beasiswa dari Unira tidak cukup untuk menyambung nyawa. Karena itulah ia harus pandai-pandai mengencangkan ikat pinggang dengan memilih transportasi termurah atau rela panas-panasan di jalan, misalnya. Bahkan, dengan bonek, ia menambah tanggung jawab: Menikahi seorang gadis di pertengahan masa kuliah. Setali tiga uang, tak lama setelah itu, putra pertamanya brojol. Baginya, anak itu adalah kado di wisuda magisternya.
“Dari awal, tujuan saya memang ingin menjadi guru walaupun teman banyak yang bergerak di bidang politik,” tegas Rofiq saat ditanya tentang cita-citanya. Trauma terhadap politik belum sirna ketika dulu ayahnya sempat menjadi anggota dewan yang hanya bertahan selama satu periode dan mendorong ekonomi keluarga ke tepi jurang.
Namun, Rofiq telah berhasil memulihkan masa gelap itu berkat kariernya yang meroket sebagai akademisi meski penuh tekanan dan menguras keringat. Selain menjadi bagian dari keluarga akademia, ia tak pernah melupakan kewajiban sebagai kepala rumah tangga dan pengabdiannya kepada masyarakat dengan bergiat sebagai Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik Sarekat Islam. Habis beraktivitas di kampus, ia mendidik para santri di madrasah diniah dan melakukan riset kecil-kecilan di sana.
“Tak semua orang mampu memanfaatkan kecerdasan artifiasial dengan bijak,” tukas Rofiq ketika ditanya tentang pendidikan di era teknologi kiwari. Katanya, pengetahuan bisa diperoleh dari mana saja, termasuk dari mesin pencari informasi seperti Google. Tapi, bagi mereka yang punya pikiran jahat, teknologi kerap disalahgunakan. Penyakit plagiasi yang menjangkiti banyak sivitas akademika, misalnya. Tak sedikit dosen dan guru besar kehilangan martabat karena kasus plagiarisme.
“Mahasiswa harus senantiasa meningkatkan kemampuaan,” tambahanya. “Kuasai semua kompetensi. Jangan bergelar S1, tapi keterampilannya SMA. Selalu libatkan Tuhan agar jalannya mulus. Jangan suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain karena bunga tidak mekar bersama.”
Tentu saja hidup Rofiq tidak selalu dijalani dengan serius. Di rumah, selain masih punya waktu bersenang-senang dengan melakukan hobi bermain bulu tangkis, ia juga bercengkerama dengan istri dan ketiga anaknya serta merawat kedua orangtua yang menuju usia senja.
Rofiq mendaku, seluruh keberhasilannya juga berkat tempaan organisasi selama menjadi mahasiswa. Ia berutang kepada semua organisasi yang pernah diikuti dan melunasinya dengan jalan mengabdi kepada almamater, menjadi pelayan bagi mahasiswa yang diamanahkan orangtua mereka dengan penuh tanggung jawab. Ia tahu rasanya menjadi mahasiswa, apalagi peserta didik dari kalangan kurang beruntung.
“Tak ada motor untuk berangkat kuliah, saya dulu nebeng sama teman,” kenangnya. Meski begitu, ia tak pernah berkecil hati. Menjadi mahasiswa berprestasi membuatnya dipercaya teman-temannya untuk membantu mereka ketika sedang mengalami kesulitan belajar. Karena itu juga teman-temannya tak bersikap pelit kepada Rofik untuk sekadar mentraktirnya makan siang.
Kini, berkat beasiswa negara, ia berikhtiar merampungkan studi doktoral di Universitas Sebelas Maret. Ia juga sedang berupaya mengumpulkan rezeki agar bisa berangkat ke Tanah Suci bersama istri dan kedua orangtuanya. “Harus berpacu dengan waktu sebelum kedua orangtua menutup mata,” pungkasnya.
**) Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura dan bergiat di Sivitas Kotheka.